Sebanyak 60 gelandangan dan pengemis (gepeng) dari sekitar 16 lokasi terjaring razia yang dilakukan tim gabungan dari Dinas Sosial (Dinsos), Satpol PP, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Bandung serta aparat kepolisian. Razia tersebut tidak hanya dilakukan menjelang tibanya bulan Ramadan, namun juga sudah termasuk kegiatan rutin bulanan.
Gepeng yang terjaring kebanyakan berasal dari lokasi bawah jembatan layang Pasupati, Jln. Dr Djundjunan, Purnawarman, Merdeka, dan Jln. Asia Afrika. Mereka kebanyakan perempuan meski ada beberapa orang anak. Para gepeng yang terjaring ini akan dikirim Dinsos Kota Bandung ke panti rehabilitasi Dinsos Provinsi Jabar di Lembang, Cirebon, dan Sukabumi.
Kepala Dinsos Kota Bandung, Hj. Siti Masnun menerangkan, razia yang dilakukan adalah sebagai upaya mengurangi jumlah mereka. Terlebih, pengalaman tahun sebelumnya, jumlah gepeng selalu meningkat menjelang bulan Ramadan.
Namun Siti menilai, upaya razia itu akan tidak efektif hasilnya bila pembinaan selama satu tahun di panti rehabilitasi sosial tidak mampu menjamin mereka untuk tak akan kembali berkeliaran di jalan.
“Tantangan bagi kami adalah mengubah perilaku mereka. Dan kami akui itu sangat sulit. Bisa saja setelah dibina selama sekitar setahun di panti rehabilitasi dan bahkan diberi modal usaha, mereka kembali lagi di jalan, karena biasanya mereka menganggap jalanan sebagai tempat mereka hidup,” kata Siti kepada wartawan di sela kegiatan razia.
Ditambahkannya, salah satu penyebab kembalinya gepeng ke jalanan adalah tidak tersedianya rumah tinggal bagi mereka. Setelah keluar dari panti rehabilitasi, meskipun sudah dibekali berbagai keterampilan, mereka masih kesulitan mencari tempat tinggal. “Karena mereka memilih jalanan yang dianggapnya sebagai rumah,” ujarnya.
Masalah tempat tinggal, ungkap Siti, memang selama ini menjadi kendala yang belum bisa terpecahkan. Namun upaya pemerintah sendiri untuk menyediakan tempat tinggal bagi para gepeng sangat terbatas karena kendala anggaran. “Masalah tempat tinggal itulah yang menyebabkan penertiban dan pembinaan yang kami lakukan belum optimal. Masalah ini juga seharusnya dipikirkan oleh Dinas Sosial Provinsi Jabar,” jelasnya.
Panti rehabilitasi
Siti juga menuturkan, hingga saat ini Kota Bandung masih belum memiliki panti rehabilitasi sendiri. Untuk pembinaan hanya dilakukan di panti milik Dinsos Provinsi Jabar di Lembang, Sukabumi, dan Cirebon. Karena dirujuk ke panti milik provinsi, Siti mengakui, kerap gepeng yang terjaring operasi rutin hanya diminta data diri, kemudian dibebaskan lagi tanpa diberikan keterampilan khusus. “Akibat menumpang pada panti milik provinsi, seringkali gepeng ini tidak kebagian tempat,” ujar Siti.
Namun sudah ada rencana Pemkot Bandung untuk membangun panti rehabilitasi itu. Bahkan telah membebaskan lahan seluas lima hektar di Kec. Rancasari. Saat ini sedang disusun perencanaan teknis bangunan, dan diperkirakan pembangunannya akan menelan biaya Rp 60 miliar.
Sementara itu, anggota Komisi D DPRD Kota Bandung, Tedy Rusmawan sependapat dengan Siti. Menurutnya, penanganan gepeng tidak bisa diserahkan begitu pada pemerintah kota/kabupaten saja. “Perlu ada sinergi dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat,” katanya saat dihubungi wartawan, Selasa (27/7).
Tedy melihat, gepeng yang ada di Kota Bandung tidak seluruhnya berasal dari dalam kota, namun juga dari luar Kota Bandung, bahkan ada yang dari luar Jabar. Karena kenyataan itu, Pemerintah Kota Bandung berhak memulangkan mereka ke daerah asal. “Karenanya perlu ada kordinasi antarpemerintah daerah, juga dengan provinsi,” ujarnya.
Langkah konkret yang bisa diambil Pemkot Bandung, kata Tedy, yaitu dengan menambah tenaga sukarelawan untuk mengawasi daerah-daerah yang sering dikunjungi gepeng. Tenaga sukarelawan ini bertugas mengawasi perilaku mereka dan aspek keamanan. “Anak-anak yang berkeliaran di perempatan sangat rentan keselamatannya. Polusi kendaraan juga berbahaya bagi masa depan mereka,” katanya.
sumber: galamedia.com