Beberapa minggu setelah pengusaha seni terkemuka Tibet dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas tuduhan pendukungnya yang mengatakan bahwa benda seni yang ia beli itu adalah palsu . Kini, seorang pengusaha Tibet lainnya pun dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Adalah Tashi Dorje, seorang pengembang properti dan pemilik Hotel Yak di Lhasa, telah divonis atas pendanaan kelompok-kelompok Tibet di luar negeri, termasuk kantor Dalai Lama, menurut Urgen Tenzin, direktur eksekutif Pusat Tibet untuk Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, sebuah LSM yang berbasis di India. Tashi Dorje telah ditangkap pada musim semi tahun 2008 setelah kerusuhan mematikan di Tibet dan dihukum pada bulan Juni, meskipun rincian kasusnya masih belum resmi diluncurkan.
Sebagai salah satu orang Tibet terkaya di Cina, Tashi Dorje merupakan sasaran yang tidak biasa. Dalam upaya sebelumnya oleh otoritas Cina untuk membasmi pembangkangan di Tibet, mereka telah memfokuskan diri pada kelompok-kelompok yang loyalitas politiknya dianggap mencurigakan, seperti biarawan dan orang-orang yang baru saja melakukan ziarah ke India, di mana Dalai Lama, pemimpin spiritual Tibet, hidup di pengasingan.
Tashi menjalankan sebuah kelompok bisnis yang melibatkan hotel, pariwisata dan real estate, serta bertanggung jawab atas ratusan pekerja. Ia dicatat dalam pers pemerintah atas kontribusinya di berbagai kegiatan amal, dan kesuksesan finansialnya merupakan simbol jenis kemakmuran dan modernitas Cina yang ingin dipromosikan di wilayah Himalaya.
Kasusnya sama kuat dengan Karma Samdrup (42), pengusaha seni yang begitu dipuji di Cina karena telah mendirikan kelompok Perlindungan Lingkungan Tiga Sungai. Ia dinyatakan bersalah pada bulan Juni karena membeli barang purbakala senilai 10.000 dolar Amerika yang dijarah dari sebuah situs arkeologi di wilayah barat laut Xinjiang. Tuduhan tersebut telah dijatuhkan pada tahun 1998 setelah Samdrup menunjukkan bahwa ia diizinkan untuk berdagang relik, dan menyangkal pengetahuan tentang kejahatan apapun terkait bagaimana penjual memperoleh objek tersebut.
Sebuah kampanye internasional untuk Tibet, yang digerakkan oleh kelompok aktivis di luar negeri, melaporkan bahwa dakwaan lama tanpa bukti yang dinyatakan oleh para pendukung Samdrup tersebut dibuka kembali untuk menghukumnya karena berusaha membantu saudara-saudaranya, Jigme Namgyal dan Rinchen Samdrup, yang ditangkap setelah menuduh polisi perburuan lokal. Rinchen Smadrup dijatuhi hukuman lima tahun untuk tuduhan menghasut separatisme. Sementara Jigme Namgyal menjalani masa 21 bulan di barak tempat para pekerja paksa.
Penangkapan dan hukuman penjara yang berat dari orang-orang ini menunjukkan bahwa dua tahun setelah kerusuhan mematikan di Tibet Lhasa dan daerah lainnya, kecurigaan pejabat Cina terhadap orang Tibet telah menyebar ke tingkat lain, termasuk kepada orang-orang yang umumnya dianggap berkaitan erat dengan negara Cina.
Sementara itu, usaha-usaha Cina untuk mendorong pembangunan di Tibet telah membantu pembangunan kelas bisnis Tibet dengan sukses, kemakmuran tersebut belum mampu membangun kesetiaan yang teguh terhadap Beijing.
“Itu menunjukkan bahwa seberapa banyak uang yang Anda tuangkan ke Tibet, Anda dapat mengubah pemandangan fisik dan sosial yang sebenarnya, tetapi tidak mengubah topografi budaya,” kata Robbie Barnett, direktur program studi Tibet modern dari Universitas Columbia.
“Kenyataannya adalah mereka dapat menciptakan orang yang mengatakan sistem ini memanfaatkan kita secara finansial, tetapi tidak dapat mengubah rasa nilai-nilai budaya,” lanjutnya.
Hukuman tersebut datang sejak seorang penulis Tibet terkemuka menghadapi pemeriksaan karena menulis buku yang mempertanyakan kebijakan Cina terhadap Tibet. Tragyal, yang menggunakan nama tunggal dan menulis dengan nama pena Shogdung, adalah seorang sarjana dan editor di provinsi barat Qinghai, yang sebelumnya mendukung garis pemerintah dan mengkritik kecenderungan keagamaan orang Tibet.
Tetapi di dalam bukunya yang sekarang dilarang, “Pemisahan Antara Langit dan Bumi,” yang diterbitkan musim semi ini di Tibet, Cina, ia menulis bahwa protes Maret 2008 menggerakkannya untuk berbicara, meskipun ia khawatir dengan keselamatannya. Walaupun tidak menyerukan kemerdekaan, ia meminta peninjauan kembali atas kebijakan pemerintah Tibet. Menurut Kampanye Internasional untuk Tibet, pengadilannya atas tuduhan mendorong separatisme telah ditunda. Namun, bukan berarti hal tersebut ia akan terhindar dari jerat hukuman. Demikian yang dilansir di website time.com
“Saya mungkin akan kehilangan kepala karena mulut Saya, tapi ini adalah jalan yang telah Saya pilih, maka tanggungjawabnya adalah milik Saya,” tulis Tragyal dalam bukunya tersebut. (Meja)
foto : Reuters