Perlindungan terhadap konsumen di Kota Bandarlampung masih sangat lemah. Buktinya, di pusat-pusat perdagangan mudah sekali ditemukan barang-barang yang tidak memenuhi standar nasional Indonesia (SNI). Produk itu terdiri atas komoditas hasil pertambangan dan aneka industri ilegal yang terdiri atas regulator tekanan rendah untuk kompor elpiji, kompor gas, minicircuit breaker (MCB/sekring), saklar listrik, serta setop kontak. Juga ditemukan komoditas pertanian, kimia, dan kehutanan berupa ban dalam motor, selang karet kompor gas elpiji, serta helm.
Dari pantauan Radar Lampung sejak beberapa hari terakhir, maraknya peredaran barang ini tidak lepas dari perilaku masyarakat yang lebih berprinsip memilih harga murah dibandingkan kualitas. Parahnya lagi, pengawasan dari pemerintah juga masih minim.
Kondisi ini masih ditambah oleh ulah para pelaku usaha yang seolah menutup mata dengan kondisi ini. Meski mereka mengetahui akan bahaya peredaran barang tidak standar ini, pelaku usaha tetap menjualnya demi keuntungan besar yang akan mereka dapatkan.
Letak geografis Provinsi Lampung sebagai gerbang Pulau Sumatera juga sangat strategis untuk masuknya barang-barang tidak standar. Padahal jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, tentu kemudian hari akan berdampak luas. Misalnya saja maraknya peredaran alat-alat listrik non-SNI. Kondisi ini memicu rawan kebakaran. Sebab, produk-produk tersebut relatif cepat rusak dan rentan terbakar. Ini kerap menyebabkan hubungan arus pendek yang kemudian memicu kebakaran. Di toko-toko peralatan listrik alat-alat, terutama yang berukuran kecil seperti fiting gantung, sakelar, setop kontak, dan kabel banyak yang belum dicantumi label SNI.
Menurut Khairi, pemilik toko alat listrik Remaja di Jl. Yos Sudarso, Panjang, sekitar 40 persen alat-alat listrik, terutama skala kecil, memang belum memiliki label SNI. Ini terjadi karena para produsen khawatir jika label SNI dicantumkan, harga barang akan ikut melambung. Padahal, pembuat produk itu kebanyakan industri kelas menengah ke bawah.
Menurutnya, harga produk seperti sakelar dan setop kontak non-SNI hanya Rp3 ribu per buah. ’’Nah, kalau alat-alat itu berlabel SNI, tentunya harganya akan lebih tinggi lagi,” tambahnya.
Disinggung mengenai sosialisasi SNI oleh pemerintah, Khairi mengaku tidak pernah dilakukan. Selama ini pemerintah lebih memperhatikan masalah SNI produk selang regulator tabung gas atau helm. Sehingga wajar karena ketidaktahuannya, masyarakat tidak pernah memedulikan masalah ini. Padahal, lanjut Khairi, untuk mengetahui apakah sebuah produk masuk kategori SNI atau tidak sangatlah mudah. ’’Biasanya di produk ada tulisan SNI. Misalnya di alat sarang bohlam, tertera tulisan SNI 6A-250 V. Itu artinya produk ini aman digunakan hingga tegangan 250 volt atau 6 ampere,” terangnya.
Kondisi serupa juga terjadi pada helm. Beberapa toko masih menjajakan helm non-SNI. Padahal, pemerintah telah memberlakukan wajib helm SNI untuk mengurangi risiko kecelakaan bagi pengendara sepeda motor.
Dari pantauan Radar Lampung, banyak pengguna jalan yang tetap enggan menggunakan helm SNI dan lebih memilih memakai helm non-SNI. Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan pengendara sepeda motor dengan merek-merek helm SNI.
Wardani (22), misalnya. Warga Hajimena, Natar, Lampung Selatan, ini mengaku tidak tahu apakah helmnya masuk kategori SNI atau tidak. ’’Waduh, saya nggak tahu helm saya ini SNI apa bukan. Saya waktu itu asal beli aja. Yang penting kan helmnya nutupin telinga, ada kacanya, dan tali buat dagu,” ujarnya saat ditemui di parkiran Rumah Sakit Umum Daerah dri. Hi. Abdul Moeloek (RSUDAM) Bandarlampung kemarin (10/10).
Beruntung, ketika Radar Lampung mengecek helm tersebut, helm berwarna hitam bermerek GM itu masuk kategori SNI. Ini terlihat dari logo SNI di bagian belakang helm. Huruf ini sengaja dicetak emboss (timbul, Red) bukan hanya sekadar menggunakan stiker.
Berbeda dengan Tiwi (18) yang ditemui Radar Lampung di Jl. Teuku Umar. Meski telah mengetahui sosialisasi penggunaan helm SNI, wanita ini mengaku enggan menggunakan helm berlogo SNI. ’’Saya kurang suka memakai helm SNI. Terlalu kaku modelnya. Makanya, saya lebih suka dengan helm begini,” ujarnya seraya menunjukan helm bermodelkan kodok berwarna hijau. Helm itu tanpa label SNI.
Senada dengan Adi (23). Warga Gedongmeneng ini juga mengaku enggan memakai helm SNI, meski ia memilikinya. ’’Kan nggak bepergian jauh. Yang penting pake, jaga-jaga aja kalau ada polisi,” katanya di depan Jl. Z.A. Pagar Alam, Kedaton, Bandarlampung.
Tidak hanya produk alat listrik atau helm yang banyak non-SNI. Produk lain juga hampir sebagian besar belum lolos uji standarisasi. Hal ini dibuktikan dari hasil razia yang dilakukan Direktorat Pengawasan Barang dan Jasa Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag RI), Kamis (7/10). Tim juga terdiri atas Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian, dan Perdagangan Lampung dan Kota Bandarlampung.
Dari razia yang dipusatkan di kawasan Telukbetung dan Jl. Kartini, tim crash program menyita ratusan produk ilegal. Di antaranya, hasil temuan di toko SB di Jl. Ikan Tongkol, Telukbetung Selatan (TbS). Di sana ditemukan produk regulator merek SNJ, TS, dan MNT sebanyak empat buah tanpa logo SNI. Produk ini juga tidak dilengkapi surat dan nomor pendaftaran barang (NPB) atau nomor registrasi produk (NRP). Selain itu, ditemukan pula 13 dus produk mini circuit breaker (MCB) merek MSK tanpa logo SNI dan tidak dilengkapi dengan NPB.
Kemudian di toko SS, Jl. Ikan Gurame, TbS, petugas juga menemukan kompor gas satu tungku bermerek TDC tanpa logo SNI. Di sana ditemukan juga produk saklar listrik, tusuk kontak, dan kotak tak ber-SNI dan NPB.
Di toko SB Jl. Ikan Tongkol, TbS, juga ditemukan produk selang karet regulator elpiji asal Korea dan di toko SS Jl. Gurame ditemukan produk yang sama asal Jerman yang diduga sama-sama tak memiliki SNI serta NPB.
Sementara di toko B Motor Jl. Kartini ditemukan 17 buah ban dalam kendaraan bermotor tak ber-SNI dan tak memiliki NPB.
Menanggapinya, Kadiskoperindag Lampung Adji Purwanto menyatakan akan memberikan sanksi terhadap pelaku usaha yang kedapatan mengedarkan barang ilegal. Adji berpegang pada UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. ’’Kami akan bertindak dan melakukan pemanggilan. Bila terbukti, tentu akan kami beri sanksi tegas. Mulai dari sanksi administratif hingga pidana,” lanjutnya.
Untuk sanksi administratif, lanjutnya, pelaku usaha dapat dikenakan pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan, kewajiban penarikan barang dari peredaran, hingga rekomendasi pencabutan izin usaha. Sedangkan untuk sanksi pidana, sesuai pasal 8 ayat 1 huruf a dan j, pelaku usaha yang melanggar akan dikenakan pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp2 miliar.
Sumber: radarlampung.co.id