Maraknya insiden akibat ledakan bom di area dan fasilitas umum seperti pesawat terbang, mall, dan tempat-tempat lainnya, tentu menjadi cambuk bagi pihak keamanan untuk lebih waspada. Insiden-insiden tersebut menekankan pentingnya teknologi deteksi bahan peledak yang bisa membantu mencegah upaya serangan berikutnya.
Ancaman bahan peledak, khususnya yang mungkin diarahkan pada penerbangan komersial, telah memacu penelitian teknologi deteksi baru serta usaha yang dapat membantu mempercepat komersialisasi untuk membawa hasilnya ke pasaran. Di antaranya dihasilkan jenis teknologi yang paling menjanjikan dalam penyelesaian masalah ancaman bahan peledak.
Cairan
Menanggapi permintaan deteksi cepat bahan peledak berbasis cairan dan gel, upaya Forschungszentrum Jülich GmbH, sebuah pusat penelitian lintas disiplin di Jülich, Jerman, telah menghasilkan teknologi yang menjanjikan deteksi ancaman cair yang dibawa melalui metode yang sangat baik dan tidak rumit bagi pengguna akhir.
Teknologi detektor cair pertama, yang dikembangkan oleh Profesor Norbert Klein di pusat Jülich, relatif sederhana. Sebuah wadah cairan ditempatkan terhadap perangkat deteksi, yang memancarkan radiasi di rentang gelombang radio dan microwave. Perangkat tersebut merasakan reaksi zat tes untuk menentukan konduktivitas dan konstanta dielektriknya, yang artinya kemampuan untuk menyelenggarakan substansi muatan listrik.
“Uji coba ini memakan waktu kurang dari satu detik dan dapat mendeteksi triperoxide triacetone (TATP), bahan peledak lain yang berbasis peroksida, serta alkohol,” kata Hugo, direktur teknis Bibby Link Microtech, yang memasarkan perangkat tersebut di Britania untuk perusahaan Jerman Emisens.
“Namun, teknologi tersebut memiliki satu keterbatasan yaitu ketika beroperasi pada rentang gelombang mikro, ia tidak dapat menguji zat dalam wadah logam. Sistem ini telah mengalami keberhasilan pada percobaan bandara di Eropa dan saat ini sedang dalam evaluasi oleh Konferensi Penerbangan Sipil Eropa,” lanjutnya.
Jejak Uap
Detektor kimia terbesar di dunia adalah hidung anjing. Ross Harper, seorang ilmuwan staf senior bersama ICx Technologies, membuat daftar berbagai faktor yang membuat sensor anjing menjadi efektif seperti itu, apakah mereka sedang mencari sisa-sisa makanan atau bahan peledak. Permukaan membran pencium anjing mencapai empat kali lebih besar dari indra penciuman manusia, dan sekitar 40 persen lebih banyak dari otak anjing ditujukan untuk mendeteksi bau. Akibatnya, anjing dapat mendeteksi zat bahkan jika mereka hanya hadir pada 2 bagian per trilyun.
Para peneliti di berbagai universitas dan lembaga proyek penelitian pertahana lanjut (Defense Advanced Research Projects Agency) telah bekerja selama beberapa dekade untuk menduplikasi apa yang telah diajarkan alam lewat hidung anjing. Upaya tersebut telah membuahkan hasil, khususnya spektroskopi mobilitas ion dan teknologi chemiluminescence yang digunakan dalam alat deteksi pelacak ledakan saat ini, seperti mesin genggam yang digunakan di bandara dan pos pemeriksaan keamanan di seluruh dunia. (Ev/sm)
Lalu adakah teknologi lain yang berfungsi pada tingkat mikro dan nano yang menjanjikan deteksi sejumlah kecil? Pantau terus SWATT Online di bagian artikel kedua!