Program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang memungkinkan masyarakat mendapatkan layanan kesehatan gratis ternyata memunculkan persoalan baru di lapangan. Hampir seluruh Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) tak mampu menampung ledakan pasien sehingga ada yang terpaksa ditidurkan di lantai atau kolong tangga rumah sakit.
Wartawan Serambi di berbagai daerah melaporkan kondisi memprihantinkan di RSUD pascapemberlakuan program JKA sejak Juni 2010. Di RSU Sigli, misalnya, pihak rumah sakit kewalahan menyediakan ruangan dan tempat tidur karena kapasitas normal hanya untuk 152 pasien.
“Jika ada pasien yang terpaksa ditidurkan di lantai, bukan kami telantarkan, tetapi karena ruangan dan tempat tidur sudah penuh,” ungkap Kepala Tata Usaha (KTU) RSU Sigli, Erlina didampingi Kasi Rawat Inap, dr Cut Rahimah dan Kasi Rawat Jalan, dr Firman kepada Serambi, Selasa (28/9).
Menurut Erlina, selama empat bulan terakhir (Juni-September) atau pascapemberlakuan program JKA, terjadi ledakan jumlah pasien di RSU Sigli. Setiap hari rata rata di atas 20 orang dengan berbagai jenis penyakit. “Sebelum program JKA, jumlah pasien yang masuk RSU Sigli masih sesuai kapasitas,” katanya.
Solusi yang dilakukan pihak RSU Sigli, selain menyediakan tempat tidur darurat–dengan membentang kasur di lantai–ada pula pasien yang diboyong ke RS Ibu dan Anak di Beureunuen yang saat ini masih kosong. “Kami juga masih kekurangan dokter spesialis, seperti spesialis kebidanan, penyakit dalam, spesialis anak, dan spesialis bedah,” ujar Erlina.
Sebelumnya, Senin (27/9), seorang warga Kecamatan Sakti, Pidie, Maryam (45) kepada Serambi, menyatakan kekecewaannya terhadap pelayanan RSU Sigli yang menidurkan suaminya di lantai. “Suami saya dirawat di RSU Sigli karena menderita penyakit dalam, tetapi ditidurkan di lantai. Apa karena kami orang miskin makanya diperlakukan seperti ini,” ujar Maryam sambil mengusap-usap kepala suaminya.
Ledakan jumlah pasien yang menyebabkan lantai rumah sakit terkadang berubah fungsi juga terlihat di RSUD Tamiang. Di rumah sakit ini hanya tersedia 130 ranjang dan sudah terisi penuh. Namun, pasien yang terus masuk tetap dilayani meski terpaksa ditidurkan di lantai.
“Idealnya RSUD Tamiang memiliki 300 ranjang karena pasien rawat jalan setiap bulannya (Jamkesmas dan JKA) mencapai 1.500 pasien dalam sebulan. Sedangkan rawat inap rata rata 500 pasien. Ini data Agustus lalu,” ujar Direktur RSUD Tamiang, dr Mariyan Suhadi MKes.
Di bawah tangga
RSUD dr Fauziah Bireuen yang memiliki 200 kamar rawat tetap kewalahan menghadapi lonjakan pasien pascapemberlakuan program JKA. Banyak pasien terpaksa dirawat di lorong lorong maupun di bawah tangga lantai dua gedung baru rumah sakit tersebut.
“Menempatkan pasien di lorong lorong atau bawah tangga dibilang kurang manusiawi, boleh-boleh saja, tapi itulah tempat perawatan yang ada sekarang. Kami mengutamakan pelayanan kepada pasien, soal tempat mereka harus maklum,” kata Direktur RSUD dr Fauziah, dr Yurizal.
Amatan Serambi, Rabu (29/9), dinding tengah ruang UGD RSU dr Fauziah Bireuen yang dibobok sebulan lalu terlihat penuh sesak. Bahkan dua pasien menjalani perawatan di lorong samping UGD. Sembilan pasien lainnya terlihat di bawah tangga. Pasien yang datang ke RSUD dr Fauziah bukan saja dari Bireuen, tapi juga dari Bener Meriah, Pidie Jaya, Pidie, bahkan ada yang dari Aceh Utara seperti Krueng Mane.
Kunjungan pasien ke RSUD dr Fauziah terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2009 pasien rawatan mencapai 240 orang/hari sedangkan 2010 sejak Januari sampai sekarang jumlah pasien yang berobat jalan setiap hari tercatat 360 orang. Menurut Yurizal, seorang pasien yang masuk ke UGD paling lama enam jam harus pindah, namun di RSUD Bireuen belum bisa dilakukan karena kamar rawatan masih terbatas 200 ranjang.
Lhokseumawe
Lonjakan pasien juga terjadi di RSUD Cut Meutia dan RS Kesrem Lhokseumawe. Meski jumlah pasien cenderung meningkat namun menurut pantauan Serambi, Rabu (29/9) siang belum terlihat pasien yang terpaksa ditidurkan di lantai. Di kedua rumah sakit tersebut, kapasitas yang disediakan –seperti ranjang dan ruang–sudah terisi penuh. Di RS Kesrem, misalnya, 34 ranjang yang disediakan untuk pasien JKA sudah terisi semuanya.
Kepala RS Kesrem Lhokseumawe, Mayor CKM dr Khairul Ihsan SpBS mengatakan, pihaknya hanya menyediakan 34 ranjang untuk pasien JKA. “Selama ini selalu penuh. Bila masuk pasien lainnya, terpaksa kita tolak untuk menghindari tidak maksimalnya pelayanan,” katanya.
Sedangkan di RSUD Cut Meutia, sebagaimana penjelasannya direkturnya, dr T Muhayatsyah, jumlah pasien meningkat melebih 40 persen dari biasanya. Namun dengan tersedianya 260 ranjang di seluruh ruang rawat inap, pihaknya masih mampu melayani lonjakan tersebut. “Bila terjadi kekurungan ranjang, misalnya ada pasien penyakait paru, dikarenakan di kamar paru ranjang penuh, terpaksa kita masukkan ke ruang lainnya untuk sementara. Sejauh ini belum ada pasien yang harus tidur di lantai,” kata Muhayatsyah.
Membludak ke lorong
Di RSUD Datu Beru, Takengon, Aceh Tengah juga terjadi lonjakan pasien. Persoalan yang dihadapi rumah sakit ini adalah kekurangan ruangan sedangkan tempat tidur masih mencukupi. “Akibatnya kami harus menempatkan pasien rawat inap di lorong-lorong antar-ruang,” kata RSUD Datu Beru, dr Hardi Yanis SpPD kepada Serambi, Rabu (29/9).
Menurut Hardi, program JKA disambut antusias oleh masyarakat namun di sisi lain fasilitas di RSU Datu Beru masih sangat terbatas. “Kalau tempat tidur pasien sudah memadai jumlahnya, sebanyak 216 ditambah 30 unit tempat tidur baru. Namun jumlah ruangan belum setara dengan jumlah tempat tidur sehingga kewalahan menghadapi lonjakan pasien pascapemberlakuan program JKA,” kata Kepala RSUD Datu Beru. “Meski ada keterbatasan, tetapi kami tak mungkin menolak pasien. Kami tetap melayani secara maksimal,” demikian dr Hardi.
Prihatin
Dampak program JKA juga mulai dirasakan RSUD Langsa karena terjadinya lonjakan pasien. Meski demikian, pihak rumah sakit tersebut tetap memberikan pelayanan maksimal meski tak sedikit pasien yang terpaksa dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit lain akibat tak sabaran menunggu tersedianya ruang rawat inap.
Menurut amatan Serambi, pasien yang akan mendapatkan pelayanan di RSUD Langsa terpaksa mengantre kamar inap hingga berjam-jam di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Tak jarang pihak keluarga harus membawa pulang kembali si pasien atau mencari rumah sakit lain kalau kondisnya semakin memburuk. “Kita sangat prihatin dengan kondisi ini, namun kita tetap berupaya memberikan pelayanan terbaik,” kata Direktur RSUD Langsa, dr Zahri kepada Serambi, Rabu (29/9).
Lonjakan rawat jalan
Di RSUD Idi Rayeuk, Aceh Timur lain lagi. Di rumah sakit ini yang melonjak adalah pasien rawat jalan yang memilih hari-hari tertentu untuk mendapatkan pelayanan. Sedangkan untuk ruang rawat inap, hingga saat ini masih normal.
Amatan Serambi, Rabu (29/9) siang, puluhan pasien atau keluarganya antre di apotek rumah sakit. Sebagian bebasr terpaksa menunggu sambil duduk di lantai karena kursi terbatas. Mereka datang ke RSUD Idi sejak pagi dan harus menunggu hingga sore untuk mendapatkan pelayanan dari dokter. “Saya datang jam 08.00 pagi, harus antre dari satu loket ke loket lain. Kondisi ini memang sangat melelahkan,” kata Tgk Salihin, warga Bagok.
Direktur RSUD Idi, dr Edi Gunawan MARS membenarkan terjadinya lonjakan pasien rawat jalan, karena sebagian warga ada yang memilih hari hari khusus untuk berobat, seperti Rabu dan Jumat. “Idealnya untuk pelayanan rawat jalan ditutup pukul 13.00 atau 14.00 WIB, tapi karena pasiennya banyak, maka pelayanan sampai sore,” katanya. “Ada juga warga yang sebenarnya punya Jamkesmas mengaku sebagai pasien JKA. Ada kesan seolah olah pelayanan JKA lebih bagus dari Jamkesnas, padahal sama saja,” sambung Edi.
Sumber: serambinews.com