Bagi Sudiono, 86, peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia selalu membangkitkan berjuta kenangan. Sebab kemerdekaan yang dicapai saat ini, diraihnya dengan mengorbankan jiwa raga.
Sudiono pensiunan Kaisat Sutai (polisi istimewa) yang menjadi pelaku pertempuran 5 hari di Semarang, sekaligus perang gerilya di Purwokerto.
“Perhatian pemerintah kepada veteran saat ini memang belum bisa dibilang cukup. Tapi pemerintah kan tidak ngurusi veteran tok. Orang dulu berjuang tanpa pamrih. Saya sekarang jadi ketua paguyuban juga tidak dibayar,” kata Sudiono saat ditemui Radar Semarang di rumahnya di Jalan Amarta No 4 Semarang.
Saat ini Sudiono menjadi Ketua Paguyuban Pelaku Pertempuran 5 Hari di Semarang. Dulu paguyuban tersebut beranggotakan 350 orang. Namun kini tinggal 90 orang saja, karena banyak veteran yang sudah meninggal dunia.
Suami Suratini tersebut salah satu sosok yang mengangkat senjata melawan Jepang saat pertempuran 5 hari di Semarang. Pada 1944, dia sudah menjadi Kaisat Sut (polisi). Tak berselang setahun, dia menjadi Kaisat Sutai atau polisi istimewa.
Kaisat Sutai saat ini seperti Brimob yang bertugas mengamankan huru-hara, mengamankan objek vital dan melawan pemberontakan. Setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, istilah Jepang tidak lagi digunakan. “Dulu markas saya di Jalan Bojong Belakang No 2, sekarang sudah jadi DP Mal,” kata Sudiono yang pensiun dengan pangkat Kapten pada 1980 ini.
Meski sudah merdeka, hingga Oktober 1945 penjajah Jepang enggan meninggalkan Semarang. Hal itulah yang memicu pejuang, pemuda, dan polisi melawan Jepang pada 14-18 Oktober 1945. “Menurut buku sejarah Pertempuran 5 Hari di Semarang, saat itu korbannya mencapai 2.000 orang.”
Sudiono berprinsip Merdeka atau Mati. “Kemerdekaan itu tidak diberikan tapi direbut dari Jepang,” tegas pria yang artikulasi bicaranya masih terdengar jelas di usia senja ini.
Dia masih ingat betul sejumlah tempat yang menjadi titik pertempuran. Di antaranya, Tugu Muda, Lempongsari, Stasiun Poncol, dan Sobokarti.
Dengan senjata laras panjang, Sudiono saat itu ikut menghadang pasukan Jepang di Lempongsari. “Kami mencegah Kido Butai, pasukan Jepang yang terlatih turun ke kota,” ujarnya.
Sudiono termasuk pejuang yang selamat dalam pertempuran tersebut. Namun dia harus menyaksikan wakil komandan gugur di sebelahnya. “Tadinya saya memang takut, tapi setelah bertempur jadi tidak takut,” kata Sudiono yang saat itu berusia 20 tahun.
Usai Jepang angkat kaki dari Semarang, Sudiono yang saat itu menjadi anggota Brimob sempat merasakan perang gerilya bersama Tentara Pelajar (TP) di Purwokerto. Saat itu, gerilya harus dilakukan karena pasukan Belanda datang lagi ke Indonesia bersama Inggris. “Kami berjalan kaki dari Banjarnegara sampai Cirebon dan melakukan kontak senjata di sejumlah titik.”
Namun pertempuran tersebut dianggapnya tak sedahsyat pertempuran 5 hari di Semarang. “Di Semarang lawannya tentara Jepang yang sudah berpengalaman. Saat gerilya senjata kami juga sudah lumayan lengkap,” terangnya.
Atas jasanya, dia meraih sejumlah penghargaan dari Presiden RI. Di antaranya Benteng Gerilya, Benteng Bhayangkara Nararya, Benteng Veteran, Benteng 45, medali perang Kemerdekaan 1 dan 2 dan medali penegak.
Saat ini Sudiono tinggal bersama istrinya, Suratini, di rumah yang dibangunnya pada 1960-an di Jalan Amarta. Kehidupan mereka mengandalkan dana pensiun polisi Rp 2,5 juta per bulan dan bantuan veteran Rp 250 ribu per bulan.
“Untuk makan ya cukup. Tapi untuk rehabilitasi rumah jelas tidak,” ujar Sudiono yang dua anaknya sudah berkeluarga dan menetap di luar kota.
Di usianya yang lanjut, sejumlah penyakit mulai menggerogoti tubuhnya. Sudiono menderita kencing manis, hipertensi, jantung, dan pernah menjalani operasi kanker. Beruntung semua biaya pengobatan ditanggung Askes miliknya.
Dia menganggap nasibnya masih lebih baik daripada sejumlah rekan veteran lainnya. “Ada lho yang hidup hanya mengandalkan dana veteran Rp 750 ribu, ada juga yang sampai main wayang orang untuk mencari nafkah,” katanya.
Dia berpesan generasi muda harus bisa mengisi kemerdekaan yang telah diraih dengan pendidikan. “Pemuda saat ini akan menjadi pemimpin masa depan. Karena itu harus ditanamkan nasionalisme dan patriotisme. Apalagi sekarang semua sarana sudah tersedia.”
Sumber: jawapos.com