MAKASSAR, BKM — Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat belum menerima laporan dari Bank Negara Indonesia (BNI) Makassar, terkait kasus kredit macet yang melibatkan sekitar 40 pengusaha di Sulsel. Untuk saat ini polda hanya bersikap pasif menunggu laporan pihak bank.
“Belum ada. Sampai sekarang belum,” ujar
Kepala Satuan Reserse Kriminal 2 Polda Sulselbar AKBP Deni Hermawan melalui Humas Polda Sulselbar AKBP Siswa, Kamis (22/7).
Dijelaskan Siswa, pihaknya tinggal menunggu laporan untuk ditindaklnjuti dan dipelajari seperti apa persoalannya. “Saya sudah koordinasikan ke bagian reskrim, tapi belum ada pihak BNI yang datang koordinasi,” ujarnya.
BNI Makassar, Rabu (21/7) melansir adanya 40 debitur dari kalangan pengusaha trading dan properti yang terbelit kredit macet. Nilai tunggakan kredit mencapai Rp 500 miliar.
BNI dalam waktu dekat akan berkoordinasi dengan polda untuk melakukan penyitaan paksa terhadap aset-aset mereka.
“Tapi langkah persuasif tetap kita upayakan. Kalau itu belum juga efektif, ya apa boleh buat, kita ambil langkah tegas,” tandas Pimpinan Wilayah VII Makassar BNI yang meliputi Sulselbar, Sulteng, Papua, Papua Barat dan Maluku Soekarno didampingi Vice President Deputy General Manager BNI, disela-sela BNI Gathering, dua hari lalu.
Menurutnya, langkah tegas tersebut berupa penyitaan aset. Aset-aset ini akan disita dan kemudian dilelang.
“Aset debitur bermasalah itu akan dijual di bawah tangan,” sebut Soekarno.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas) Hamid Paddu, menjelaskan, penyebab terjadinya kredit macet oleh pengusaha properti karena para pengusaha properti terlalu agresif dalam ekspansi bisnis tanpa memperhitungkan permintaan pasar secara riil.
Sebenarnya, jika proyek properti komersial itu dibiayai dana sendiri tidak menjadi masalah, apalagi sektor ini bisa menyerap pekerja dalam jumlah banyak. Namun, jika mengandalkan dana perbankan harus diwaspadai dengan cermat.
Hamid mensinyalir bahwa sebagian proyek properti yang saat ini tumbuh di mana-mana didanai dari hasil kegiatan pencucian uang atau money laundering.
“Kredit properti memang sudah terlalu tinggi pertumbuhannya. Ini bisa meningkatkan risiko koreksi sektor properti,” katanya.
Dengan kasus ini kata Hamid, polisi berkesempatan menyelidiki dugaan pencucian uang itu. Minimal, memeriksa ke-40 pengusaha properti ini, karena pertumbuhan properti yang luar biasa, memungkinan adanya praktik kotor seperti itu.
Menurutnya, gejala koreksi pun sudah mulai muncul dengan semakin sulitnya penjualan apartemen dan properti komersial.
Hamid juga menambahkan, banyaknya kredit macet properti karena bank salah dalam memberikan kredit. “Kondisi makro-ekonomi saat ini relatif oke meski ada ‘uang panas’. Yang jadi masalah sektor riil belum bergerak,” ujarnya.
Langkah penyitaan aset dianggap sudah sesuai prosedur. Apalagi, jika pihak perbankan telah menempuh langkah-langkah persuasif sebelum penyitaan.
“Ya memang harus seperti itu. Karena kalau dibiarkan dalam rentang waktu lama, bisa berpengaruh pada sektor-sektor itu,” katanya.
Langkah represif pihak bank juga menjadi pelajaran bagi debitur agar tidak terlalu mengeksploitasi kredit di perbankan. Sebaliknya, ini juga bisa menjadi peringatan bagi bank agar lebih mementingkan ekonomi mikro dalam pengucuran kredit, daripada sektor makro.
Selama ini ada kecenderungan, bank lebih percaya pada pengusaha properti ketimbang usaha kecil dan menengah. Padahal, pengusaha sektor makro juga banyak merusak sendi-sendi perbankan.
sumber : beritakotamakassar.com