“Sebuah rezim baru di Irak akan menjadi contoh yang dramatis dan mengilhami kebebasan bagi negara-negara lain di kawasan itu.” Demikian kata yang terlontar dari mulut Presiden George W. Bush, dalam mengerahkan Amerika Serikat untuk perang pada 2003 lalu.
Sekarang, sejak militer AS mengakhiri perang tempurnya, presiden Barack Obama secara resmi mengumumkan dari Oval Office, bahwa Irak merupakan suatu contoh yang dramatis untuk Timur Tengah, tapi tidak untuk cara Bush dan pemerintahannya impikan. Irak tidak menjadi sebuah mercusuar demokrasi, juga tidak membuat efek domino yang menggulingkan rezim-rezim diktator lain di dunia Arab. Sebaliknya, perang Irak telah memicu gelombang baru kebencian sektarian dan gangguan keseimbangan strategi Teluk Persia, membantu Iran mengkonsolidasikan perannya sebagai kekuatan regional yang dominan.
Pemerintahan Bush berpendapat bahwa tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan dan keamanan AS dalam jangka panjang. Tetapi wilayah ini jauh lebih stabil dan mudah terbakar daripada ketika pasukan Amerika memulai perjalanan mereka ke Baghdad tujuh tahun yang lalu. Di sepanjang Timur Tengah, hubungan antara Sunni dan Syiah sangat tegang karena pertumpahan darah sektarian di Irak. Sunni khawatir tentang peningkatan wilayah rezim yang dipimpin Syi’ah di Iran, program nuklirnya, pengaruhnya yang berkembang pada kepemimpinan Irak, dan campur tangan di negara-negara lain dengan masyarakat Syi’ah yang besar, terutama Libanon.
Iran adalah penerima manfaat terbesar dari bencana Amerika di Irak. Amerika Serikat menggulingkan musuh Teheran, Saddam Hussein, dari kekuasaan. Lalu Washington membantu membangun pemerintah Syi’ah untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Irak. Sejak tentara AS terperosok dalam peperangan suatu pemberontakan dan perang saudara, Iran memperluas pengaruhnya dari semua faksi Syiah Irak.
Timur Tengah kini telah dibentuk oleh perang beberapa perwakilan. Di Irak, kota yang berdekatan mendukung militan Sunni, sementara Iran mendukung milisi Syiah. Di Lebanon, sebuah aliansi antara Washington dan rezim Sunni Arab – Mesir, Yordania, Arab Saudi dan negara-negara Teluk Persia lainnya – mendukung pemerintah yang dipimpin Sunni melawan Hizbullah, sebuah milisi Syiah yang didanai oleh Iran. Dan di wilayah Palestina, Iran dan Syria mendukung militan Hamas, sementara Amerika dan sekutu Arabnya mendukung Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan gerakan Fatah-nya.
Di tahun 2007, pada puncak pemberontakan dan konflik sektarian di Irak, Marwan Kabalan, seorang ilmuwan politik di Universitas Damaskus, menjelaskan dinamika regional lebih baik dari orang lain.
“Semua orang bertempur melawan melalui perwakilan lokal. Ini seperti Perang Dingin,” katanya seperti yang dikatakan di website GlobalPost. com
“Semua rezim di Timur Tengah mengakui bahwa Amerika telah kehilangan perang di Irak. Mereka semua melancarkan manuver untuk melindungi kepentingan mereka dan untuk mendapatkan sesuatu dari kekalahan Amerika,” tambahnya.
Dengan melemahnya pengaruh AS dan kekuasaan Iran, tetangga Irak lainnya masih berebut untuk mendapatkan pijakan dengan pemerintah baru di Baghdad. Misalnya, penguasa dinasti Al-Saud Arab Saudi melihat dirinya sebagai pemimpin yang sah dari dunia Muslim, tetapi Iran menantang kepemimpinan yang sekarang. Walaupun Arab Saudi memiliki penduduk mayoritas Sunni, penguasanya khawatir atas potensi pengaruh Iran yang cukup besar dan kadang-kadang gelisah terhadap populasi Syi’ah yang terkonsentrasi di provinsi Timur kerajaan yang kaya minyak. Di Bahrain (sekutu lain AS di Teluk Persia), mayoritas Syi’ah bergesekan di bawah penguasa Sunni yang juga khawatir terhadap Iran.
Lebih buruk lagi, perang brutal antara mayoritas Syiah Irak dan minoritas Sunni melepaskan kebencian sektarian yang sulit untuk dikendalikan. Blowback, operasi recoil ini, telah dirasakan paling tajam di Libanon, sebuah negara kecil dengan sejarah perselisihan agama yang panjang. Selama 15 tahun perang saudara Libanon, yang berakhir pada tahun 1990, kesenjangan sektarian terbentuk antara Muslim dan Kristen. Kali ini, konflik utama terbentuk antara Sunni dan Syiah – dan itu didorong dengan pertumpahan darah di Irak.
Setelah Saddam dihukum mati pada bulan Desember 2006, Sunni melihat Amerika dan pemerintah Irak yang didominasi Syiah sebagai sisa-sisa terakhir dari nasionalisme Arab. Meskipun Saddam pernah menjadi sekutu yang diandalkan Barat, di tahun 1990-an, ia merupakan orang di antara beberapa pemimpin Arab yang menentang Amerika Serikat dan kekuatan Eropa. Dalam pandangan Sunni, Amerika dan sekutunya memberantas gagasan masa lalu Arab yang mulia tanpa menawarkan pengganti untuk itu – selain sektarianisme.
Pada tahun 2007 dan 2008, Sunni Libanon merasa terkepung saat mereka menonton berita dari Irak tentang pasukan pembunuh Syiah yang mengeksekusi Sunni dan mengarahkan mereka keluar dari lingkungan Baghdad. Pada saat yang sama, Hizbullah berusaha untuk menggulingkan pemerintah Libanon yang dipimpin Sunni dengan pementasan protes jalanan dan mendudukinya secara masif yang melumpuhkan pusat kota Beirut. Pada bulan Januari 2007, sejak mereka menentang pendukung Hizbullah selama mogok nasional, kelompok Sunni melambaikan poster Saddam dan meneriakkan namanya di depan kamera TV.
Ini merupakan kontradiksi, Sunni sekutu Amerika di Libanon membawa poster Saddam, diktator yang telah menyebabkan AS menghabiskan miliaran dolar dan kehilangan ribuan nyawa untuk menggulingkannya. Tapi itu juga merupakan deklarasi perang. Saddam menewaskan ratusan ribu Syiah di Irak. Banyak Syiah Libanon mempunyai saudara di Irak, dan kedua kelompok ini memiliki hubungan dekat selama berabad-abad. Faksi-faksi politik Libanon akhirnya berkompromi pada pemerintahan baru, tapi ketegangan sektarian yang mendasari masih berlangsung, dan setiap orang waspada terhadap Irak.
Sejak Sunni Irak, Syiah dan Kurdi berdebat tentang berbagi kekuasaan dan kekayaan minyak negara itu, kekerasan pun meningkat lagi. Pemilihan parlemen terbaru menghasilkan jalan buntu di Baghdad yang belum mampu menyepakati pemerintah baru. Jauh dari menjadi model kebebasan dan hidup berdampingan, Irak tetap sebuah tong bubuk yang dapat memicu konflik sektarian di Timur Tengah. (mylove)