Demonstrasi atau unjuk rasa sesuatu yang lumrah, namun jika demonstrasi dibarengi dengan tindakan anarkis dan menimbulkan jatuh kurban hingga tewas, itu yang ironis.
Demonstrasi seringkali muncul karena ada persoalan pada suatu sistem sehingga memancing publik perlu mengoreksinya. Pada konteks itu, kita semua sepakat bahwa demonstrasi hal positif bagi perbaikan sistem karena berfungsi sebagai media kritik yang membangun. Tetapi, fakta di lapangan sering menunjukkan sebaliknya.
Demonstrasi bisa berubah menjadi tindakan anarkis, manakala emosi sesaat yang meluap-luap tak lagi mampu dikendalikan. Massa mulai menyebar, kerusuhan terjadi hingga mengakibatkan bentrok fisik yang tak jarang memakan korban, baik materil maupun jiwa.
Masih ingat dengan kasus demonstrasi pembentukan provinsi Tapanuli yang berujung anarkis di Sumatera Utara, hingga merenggut nyawa ketua DPRD Sumut, Abdul Azis Angkat.
Semua menyayangkan kejadian ini, tindakan yang dilakukan masih sebatas usaha represif yang berpotensi memunculkan konflik antara polisi-demonstran. Seharusnya, para demonstran mengetahui fungsi dari seorang polisi, karena polisi- meminjam konsep Althusser-merupakan salah satu represif state aparatus. Artinya, polisi memiliki kewenangan represif dalam mengatur massa.
Dalam berdemo, sebanarnya sudah ada prosedur yang harus dipatuhi oleh demonstran. Semisal izin melakukan demonstrasi, pembatasan jumlah massa, dan aturan mengenai atribut demonstrasi termasuk soal pengeras suara (jangan sampai disita karena kapasitasnya melebihi).
Seperti yang termaktub dalam Pasal 21 Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa atau lebih dikenal dengan Protap jelas-jelas melarang aparat untuk bersikap arogan, terpancing oleh perilaku massa, dan melakukan tindak kekerasan yang tidak sesuai prosedur.
Menurut dosen bidang Studi Kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, bila kepolisian sudah menjalankan tugas dan fungsinya dalam mengamankan demonstrasi, kemudian terjadi tindakan anarkis oleh para demonstran yang telah melampaui batas hukum, maka polisi bisa mengambil tindakan tegas. (li)
BOKS
Tips Negosiasi dengan Demonstran
Untuk mengatasi prilaku massa yang berdemo, maka perlu mengetahui cara bernegosiasi yang tepat agar terhindar dari prilaku anarkis. Berikut kiat-kiat yang perlu diperhatikan dalam bernegosiasi dengan massa :
1. Perhatikan sifat massa dan bentuk massa, untuk massa non formal upaya negosiasi kurang berarti.
2. Untuk massa terorganisir, negosiasi bisa dilakukan dengan pimpinan dan beberapa pendamping.
3. Upayakan untuk membawa situasi dalam pembicaraan rasional, realistis dan kurangi suasana emosional.
4. Usahakan memberikan pengertian bahwa tuntutan mereka telah didengarkan dan dipahami.
5. Sampaikan bahwa perbuatan anarkis hanya akan merusak upaya dan nama mereka di mata masyarakat.
6. Jangan terintimidasi dengan retorika politik yang disampaikan, sebaiknya tetap pada poin-pain negosiasi (apa yang dapat ditawar), misalnya jika mereka menghendaki untuk longmarch, maka poin yang dapat ditawar dari tuntutan tersebut, mungkin jaraknya bisa diperpendek, jumlah peserta dikurangi, atau jaminan bahwa mereka tidak akan menggangu ketertiban umun.
7. Perhatikan kesiapan pasukan Dalmas sebelum memutuskan mengadakan negosiasi, khususnya untuk men,jaga perilaku massa yang ditinggalkan bernegosiasi.
8. Upayakan negosiasi tidak memakan waktu lama, sebab kemungkinan massa yang ditinggalkan pimpinannya bernegosiasi akan memanas dan mengadakan aksi di luar kendali pimpinannya. (Heru Lianto)