Di tengah belum terlaksananya operasi militer untuk menyerbu dan membebaskan pembajakan kapal Sinar Kudus di Somalia, TNI telah ‘menggelar’ operasi militer di Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesanatren, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Diberitakan oleh media, telah terjadi bentrokan antara warga yang mempunyai pekerjaan petani dan aparat TNI AD.
Bentrokan itu terjadi akibat penolakan warga yang keberatan TNI menggelar latihan militer dan uji senjata berat di Setrojenar. Bentrokan itu terjadi setelah warga selepas melakukan ziarah kubur di makam lima warganya yang tewas akibat terkena mortir aktif milik TNIAD di areal pertanian Desa Setrojenar pada tahun 1997 melakukan demonstrasi di Kantor Dislitbang TNI AD di Pantai Bocor. Karena demonstrasi itu tidak mau dibubarkan, maka, disebutkan oleh media, 100 tentara keluar dari Kantor Dislitbang langsung menyerbu warga yang melakukan demonstrasi itu. Sebab sebagai tentara yang terlatih, maka serbuan itu mengakibatkan 13 warga luka dan 4 warga tertembak.
Dari apa yang terjadi di Setrojenar sebenarnya dilandasi konflik pertanahan antara warga dan TNI. Konflik pertanahan yang terjadi di Setrojenar bukan yang pertama, sebelum itu, di Jakarta Utara, juga terjadi konflik masalah pertanahan antara pihak yang merasa memiliki lahan dengan TNIAL. Dalam mengamankan aset yang dirasa miliknya, seluas 20, 5 ha di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kelapa Gading, Jakarta Utara, itu tampak beberapa TNI AL yang membopong senapan serbu dan membawa anjing pemburu.
Dari konflik tanah yang terjadi ini menambah panjang konflik pertanahan antara TNI dan rakyat. Konflik pertanahan itu seperti terjadi di di Cisompet, Garut, Jawa Barat; Kasus PLTA Sulewana, Poso; Tanak Awu, Lombok Tengah, NTB; Bentrok Petani Rumpin Desa Sukamulya, Rumpin, Bogor, Jawa Barat, dan berbagai daerah lainnya di Indonesia.
Apa yang terjadi di Setrojenar itu bisa jadi mirip apa yang terjadi di Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur. Rakyat yang mempertahankan hak miliknya, dengan bukti Petok D dan Letter C, harus berhadapan dengan sekitar 13 anggota Marinir TNIAL. Akibat bentrokan itu disebut empat orang tewas dan tujuh orang luka-luka akibat kena tembak.
Atas semua peristiwa di atas semua sangat menyayangkan. TNI yang seharusnya berfungsi sebagai alat pertahanan negara, menjaga keutuhan bangsa, justru malah sering menyerang warganya sendiri. Secara aturan tentu TNI tidak gampang untuk menggunakan senjatanya atau melakukan operasi militer dalam mempertahankan apa yang dirasa menjadi miliknya. Lihat saja, ketika banyak wilayah Indonesia diserobot atau saat pembajakan Kapal Sinar Kudus, TNI tidak melakukan operasi militer karena mereka tidak mendapat perintah untuk menggelar operasi militer.
Jadi TNI tidak seenaknya menggelar operasi militer. Dengan demikian, apakah di Setrojenar atau di tempat lainnya, konflik TNI dengan rakyat, ada perintah bagi TNI untuk menggelar operasi militer? Tentu tidak, sebab rakyat yang berkonflik dengan TNI tidak masuk dalam kriteria musuh negara dan bangsa, mereka hanya mempertahankan tanah miliknya. Seharusnya dilakukan secara baik-baik. Diselesaikan secara non-militer.
Tentu konflik seperti di Setrojenar, Kelapa Gading, dan tempat-tempat yang lainnya masih akan sering terjadi dan menimbulkan korban apabila TNI dalam mempertahankan asetnya lebih mengedepankan kekerasan daripada hukum. Lihat saja, Pengadilan Negeri Jakarta Utara harus menunda eksekusi tanah yang diduduki TNI AL di Jalan Perintis Kemerdekaan itu karena TNI AL ketika menghadang juru sita hadir dengan ‘kekuatan’ penuh. Bahkan Panglima TNI meminta eksekusi itu ditunda dengan alasan masalah belum selesai.
Bila demikian memang harus dipikirkan cara yang baik agar semua bisa melaksanakan tugas dan fungsi masing-masing. Latihan militer dan uji senjata berat memang perlu dilakukan oleh TNI untuk mengasah profesionalisme. Di sisi lain warga menggunakan lahan sebagai mata pencaharian mereka, sebagai petani misalnya. Semakin minimnya lahan di Pulau Jawa memang menyebabkan TNI kekurangan wilayah untuk melakukan latihan militer atau untuk dijadikan markas dan perumahan anggota, akibatnya sering bersinggungan dengan rakyat yang juga merasa memiliki hak atas tanah yang ditempati.
Solusi yang bisa ditempuh untuk meminimalisasi konflik TNI dan rakyat dalam soal tanah adalah, pertama, TNI mencari lahan di luar Jawa atau pulau-pulau kecil untuk dijadikan tempat latihan militer dan ujicoba senjata. Kita lihat banyak pulau-pulau yang masing tidak berpenghuni yang rawan diserobot bangsa lain. Dengan menempati pulau itu maka selain langsung menjaga wilayah NKRI juga layak untuk dijadikan tempat latihan militer dan uji senjata.
Kedua, warga yang menempati daerah yang cocok dijadikan latihan militer dan uji coba senjata berat, tanahnya dibeli dengan harga yang untung atau mereka ditransmigrasikan. Peran DPR dan pemerintah dalam mengatasi masalah ini adalah dengan menaikkan anggaran TNI khususnya untuk membeli sarana kelengkapan TNI non-alutsista. Dari sini maka kedua belak pihak bisa saling untung.
Ketiga, adanya jatuh korban masyarakat di sekitar tempat latihan militer dan ujicoba senjata berat bisa jadi karena TNI tidak pernah melakukan sosialisasi atau evakuasi warga ketika terjadi latihan militer dan uji coba senjata berat.
Akibat tidak adanya sosialisasi dan evakuasi maka akibat kesalahan manusia dalam mengendalikan senjata seperti apa yang terjadi di Setrojenar pada tahun 1997, di mana akibat ledakan mortir menyebabkan lima orang meninggal dunia. Militer Korea Utara saja saat ketika hendak melakukan uji coba peluncurkan rudal jarak dekat atau pendek di kawasan sekitar Laut Jepang, ia melakukan sosialisasi kepada nelayan dan para pelaut agar menghindari kawasan itu. Dari sosialisasi ini, uji coba yang sangat berbahaya ini tidak menimbulkan korban jiwa dari masyarakat.
Warga Desa Setrojenar mungkin tidak akan menolak pelatihan militer dan uji coba senjata berat TNI bila kejadian pada tahun 1997 tidak terjadi. Peristiwa pada tahun itu terjadi bisa jadi disebabkan TNI tidak melakukan sosialisasi atau evakuasi untuk sementara selama pelatihan militer dan uji coba senjata berat berlangsung, sehingga masyarakat tidak tahu dan tanpa sadar mereka masuk dalam area pelatihan militer dan uji coba senjata berat. Di sini TNI tidak bisa menciptakan rasa aman di sekitar tempat latihan militer dan uji coba senjata berat sehingga wajar bila warga menolak. |dtc|