Nasib guru di Jakarta Timur rupanya tidak melulu harus senang. Selain mereka harus mengajar peserta didik yang keadaannya normal atau biasa disebut murid regular, mereka pun harus mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK), yang tanpa bermodalkan pengetahuan dan sarana – prasana yang memadai. Sudah lelah, tambah dibikin lelah.
Sukarto, adalah guru pendidikan jasmani (Penjas) di SMP Negeri 223 Jakarta, tepatnya di Jalan Surilang No.6 Kel. Gedong Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur, di mana di sekolah itu terdapat ratusan peserta didik regular dan 18 peserta didik anak berkebutuhan khusus (ABK).
Sukarto sempat mengeluh ketika mengajar peserta didiknya yang terdiri dari anak – anak normal dan abnormal yang tercampur di dalam satu ruang kelas. Apalagi ketika dirinya sedang memberikan mata pelajaran, ada saja yang membuat ulah dari anak-anak abnormal. Tapi bagi Sukarto, itu sudah menjadi kewajibannya ia sebagai seorang guru untuk menenangkan situasi kelas agar kembali kondusif dan proses belajar – mengajar dapat pulih kembali.

“Sementara ini kegiatan belajar mengajar disatukan dengan peserta didik yang reguler maupun umum. Dan guru dari pendidikan luar biasa (PLB) sendiri tidak ada, sehingga setiap hari kita merasa kewalahan harus memahami karekter siswa,” terangnya.
Dikatakan Sukarto, belum adanya ruang secara khusus berupa sarana dan prasana bagi kegiatan belajar – mengajar untuk peserta didik anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah hal yang sangat wajar terjadi di sekolah ini. Apalagi, di tempatnya mengajar juga tidak ada sumber daya manusia berupa guru yang secara khusus menangani peserta didik bagi anak-anak ABK.
Sukarto pun hanya bisa pasrah dan berharap kelak pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang selama ini telah menunjuk sekolah inklusi agar menyediakan ruang kelas dan guru pembimbing khusus (GPK). Karena menurut Sukarto, masing-masing anak berkebutuhan khusus itu harus ada guru yang spesialisnya. Ia memberi contoh, misalnya ada anak berkebutuhan khusus (ABK) dari tuna rungu, maka harus ada guru pembimbing khusus tuna rungu. Dan kalau ada penyandang ABK yang lemah penglihatan (low vision), maka di sekolah tersebut harus ada guru spesialis low vision.
”Terutama low vision. Karena kan kalau ABK belajar memakai huruf braille, sedangkan kita di sini adalah guru yang mengajar secara umum. Jadi, mau tidak mau kita harus mempelajarinya terlebih dahulu,” ujarnya
Sementara itu, hal senada juga diungkapkan oleh Ibu Rifa (31), salah satu guru SDN 04 Pagi, di JaIan Raya Condet RT 12/03. Desa Gedong, Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur yang juga mempunyai 35 peserta didik anak berkebutuhan khusus (ABK), mengatakan, bahwa pelayanan terhadap anak-anak ABK di sekolahnya belum memiliki tenaga pengajar khusus sampai sekarang.
Dia juga menerangkan, selama ini memang dalam kegiatan belajar dirinya tidak kerepotan dalam perilaku ABK. Hanya saja, dalam sisi intelektualnya untuk ABK sendiri guru – guru di sekolah itu pada akhirnya merasa kewalahan juga.
Rifa berharap, karena sekolahnya telah ditunjuk oleh Kemdikbud sebagai sekolah inklusi, paling tidak ada tindak lanjutnya disediakan beberapa tenaga pendidik yang betul-betul dan mampu memberikan pelayanan pada anak ABK.
Tidak hanya itu, Kemdikbud juga diminta untuk memperhatikan sarana – prasana, dan fasilitas yang memadai bagi anak berkebutuhan khusus bagi sekolah inklusi. “Sehingga nantinya dapat dipisah antara anak reguler dan ABK. Dan proses kegiatan belajar – mengajar pun berjalan dengan baik,”ujarnya
Mendikbud akan perhatikan ABK
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Muhammad Nuh sendiri menyadari selama ini anak-anak berkebutuhan khusus (autis) belum tertangani dengan baik. Oleh karena itu, Kemdikbud berencana ingin mendirikan pusat pengembangan pendidikan autis.
“Salah satu yang memerlukan layanan khusus adalah penderita autis. Oleh karena itu, Kemdiknas akan akan mendirikan pusat pengembangan autis. Sebab sejauh ini, banyak penderita autis yang belum tertangani dengan baik,” tuturnya
Mantan Rektor Institute Teknologi Surabaya (ITS) itu berjanji akan mendirikan lima pusat pengembangan pendidikan anak berkebutuhan khusus ABK. Adapun Fasilitas untuk pendidikan layanan khusus ini nantinya akan didirikan masing-masing di Jakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, dan wilayah Sumatera
Namun dalam pelaksanaanya, Kemdikbud dalam menyelenggarakan layanan khusus ini tidak sendirian, melainkan akan merangkul fakultas kedokteran di kota setempat, para psikolog, serta dari para tenaga pendidik.
“Tiga ini bersinergi untuk menangani pusat pengembangan autis,” katanya| Heru Lianto