“Sekarang kita akan belajar berhitung. Dimana, setiap bilangan yang ada angka 2 dan 5, kita tidak boleh mengucapkannya dengan suara, cukup bertepuk tangan. Mengerti semua ? Oke, kita mulai dari Rafi…” demikian cara Darma, seorang pendidik di sekolah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Autis i-Homeschooling di Jalan Abdullah Lubis Medan untuk membangkitkan semangat anak ABK dalam berhitung.
Oleh : James P. Pardede
Berhitung, kata Darma adalah salah satu cara untuk melatih daya ingat dan pemusatan perhatian anak-anak autis. Setelah berhitung sampai angka puluhan, seorang anak salah mengucapkan angka. Teman-temannya yang lain langsung berteriak, salah sambil tertawa.
Setelah belajar beberapa jam, pada hari itu kelas yang dibimbing Darma akan mengadakan Shopping Day (belanja bersama) ke salah satu supermarket yang dekat dengan sekolah mereka. Program belanja ini menggunakan uang tabungan yang mereka kumpulkan selama satu minggu. Menurut Darma, belanja kali ini mereka diajari untuk belanja apa saja dengan uang Rp. 15 ribu.
“Mengajak mereka belanja adalah lanjutan dari pelajaran setelah mereka mengenal uang dan pecahannya. Ambang batas uang belanja yang diberikan adalah salah satu cara untuk mengajar mereka dalam mengelola uang yang mereka miliki. Kemandirian dalam mengatur pengeluaran akan menjadi bekal mereka untuk lebih mandiri di kemudian hari,” papar Darma.
Dalam agenda belanja kali ini, Kepala Sekolah yang juga pendiri i-Homeshooling, Andreas Saputro ikut serta mengawasi anak-anak didiknya dalam berbelanja. Ia juga ikut mengarahkan anak didiknya dalam memilih produk yang sesuai dengan budget serta mengawal mereka di kasir.
“Uang yang mereka gunakan adalah uang hasil tabungan mereka sendiri. Kalau nanti dari hasil belanja mereka ada uang sisa, mereka akan hitung kembali berapa yang mereka belanjakan. Sisanya akan ditabung kembali untuk program belanja berikutnya, Masalah tempat belanja, kita akan melakukan generalisasi untuk lebih mengajarkan anak-anak dalam mengenal tempat-tempat belanja yang mereka minati,” kata Andreas Saputro.
Pada kesempatan itu, Andreas bercerita tentang asal muasal keseriusannya menggeluti pendidikan ABK terutama anak-anak autis. Awalnya, di tahun 2004 Andreas mendirikan Pelatihan Belajar Mandiri i-Homeschooling (bimbingan belajar tambahan bagi siswa SD, SMP dan SMA). Seiring waktu berjalan, Andreas menemukan salah seorang muridnya tidak bisa fokus dalam belajar. Setelah diamati, Andreas bertanya pada salah seorang dokter dan langsung mengatakan bahwa anak tersebut adalah anak autis.
Menindaklanjuti temuan ini, Andreas membuat sebuah seminar tentang autisme dan upaya penanggulangannya. Pasca seminar, beberapa orang tua yang ikut seminar dan memiliki anak autis langsung menitipkan anaknya ke i-Homeshooling, yang sejak awal berfungsi sebagai bimbingan belajar akhirnya di stop dan beralih ke sekolah khusus menangani anak-anak berkebutuhan khusus.
Bak kata pepatah, sambil menyelam ya minum air. Sambil menjalankan program pembelajaran bagi ABK autis, Andreas pun mulai belajar secara otodidak tentang penanganan anak-anak autis dan anak ABK lainnya.
”Buku-buku tentang Autis dan ABK saya baca sampai habis, berburu buku pun dilakukan sampai ke Jakarta dan ke luar negeri. Seminar tentang autis juga tak pernah luput dari perhatian. Ini semua saya lakukan karena sudah komitmen untuk mendidik ABK menjadi anak yang mandiri,” tandas suami dari Elisabeth Lily ini.

Terkait dengan program-program pelatihan dan penunjang akademik yang dijalankan di i-Homeshooling, kata Andreas adalah program pembelajaran yang telah melewati uji coba dan riset di beberapa universitas yang dinyatakan terbaik dan berhasil dalam melatih anak ABK, maka itu yang dilakukan di i-Homeshooling.
”Kita punya program yang namanya individual plan, yaitu program pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Apa yang mau dipelajari tergantung pada harapan kita dan orang tua. Kalau belum bisa mandiri, berarti program ini dulu yang akan diajarkan agar mereka bisa makan sendiri, pakai baju sendiri dan mandiri lainnya, kemudian komunikasi dan kontrol diri. Setelah ketiga program ini diajarkan baru masuk ke pendidikan keterampilan dan akademik,” paparnya.
Kemudian, tenaga pendidik disini harus mengetahui perkembangan-perkembangan yang terjadi pada anak berkebutuhan khusus, termasuk perkembangan emosionalnya. Jadi, guru tidak hanya fokus di terapi bicara dan terapi lainnya.
Lantas, apa sebenarnya yang menjadi motivasi dari Andreas Saputro terjun ke dunia pendidikan ABK ? Secara gamblang, Andreas menyampaikan bahwa di luar sana ada satu jiwa yang perlu dihargai, sebagian orang tidak menghargainya. Maaf kata, kadang orang tuanya sendiri pun tidak menerimanya.
“Jadi, sesuai dengan profesi saya sebagai pendidik, saya sangat peduli dan tergerak oleh rasa belas kasihan dan ingin membantu sebuah jiwa untuk tumbuh, berkembang dan mandiri di kemudian hari. Mandiri berarti bisa mencari uang sendiri. Kalau bukan kita, lalu siapa lagi yang mau menghargai mereka,” tuturnya.
Anak ABK autis yang belajar di i-Homeshooling, lanjut ayah dari satu anak ini, ada yang berhasil pulih namun perlahan, akan tetapi ada juga yang tidak mengalami kemajuan. Ini semua tergantung pada peranan orang tua di rumah, gizi dan makanan yang diperolehnya serta lingkungan tempat tinggalnya apakah mau menerima mereka.
Menyadarkan Masyarakat
Di kesempatan terpisah, salah seorang pendeta GBKP Jekson Pardomuan yang pernah bertugas dan melakukan penelitian di Yayasan Kesejahteraan Penyandang Cacat (YKPC) Alpha Omega Kabanjahe, menegaskan bahwa anak-anak ABK disana diajari banyak hal termasuk membuat kerajinan tangan dan berladang.
Pada awalnya, YKPC berdiri mengupayakan pelayanan, pendanaan, tenaga pelayan/pengasuh, serta penjemaatan bagi warga GBKP dengan mencari anak-anak penyandang cacat mental kedesa-desa, dimana anak-anak seperti ini harus mendapat perhatian dan kasih sayang serta mendapat kesempatan yang sama seperti layaknya anak normal.
“Dari hasil penelitian yang saya lakukan, kebanyakan masyarakat mengatakan bahwa ABK perlu penanganan khusus dan perlu untuk diperhatikan, tentunya dengan memberikan pendidikan secara formal melalui SLB juga dengan kegiatan-kegiatan lain yang dapat membantu mereka mandiri,” papar Jekson.
Masyarakat juga mengatakan, lanjutnya bahwa Alpha Omega sebagai suatu yayasan penyandang cacat di Tanah Karo sudah menjadi contoh yang baik dalam hal menangani anak-anak berkebutuhan khusus.
Penekanan yang dilakukan terhadap masyarakat, lanjut Jekson Pardomuan adalah menyadarkan masyarakat bahwa tidak ada satu anak manusia yang tidak memiliki kekurangan. Tidak ada satu anak manusia yang ingin dilahirkan ke dunia ini dengan menyandang kelainan atau memiliki kecacatan. Seorang ibu pun tidak pernah menghendaki kelahiran anaknya memiliki kekurangan.
“Itu sebabnya, sejak kelahirannya ke dunia, anak cacat atau anak berkebutuhan khusus tidak dikehendaki oleh kedua orang tuanya. Inilah konsekuensi logis bila ABK akan menghadapi banyak tantangan dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan,” tandasnya.
Semakin dini ABK diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan anak seusianya, tuturnya semakin kuat mental ABK menghadapi tantangan yang ada di lingkungan tempatnya berada. Ia juga akan jauh lebih berkembang bila dibandingkan dengan mereka yang diasingkan dan tidak disekolahkan.
Berdasar pada data yang terhimpun dari Dit.PPK-LK Dikdas sampai tahun 2011, ada sebanyak 356.192 anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan disabilitas. Namun baru terlayani 85.645 ABK disabilitas yang memperoleh layanan pendidikan pada Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Terpadu maupun sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Artinya sebanyak 249.339 ABK disabilitas (70%) usia 5-18 tahun yang belum sekolah.
Data sementara dari Dit.PPK-LK Dikdas tahun 2010/2011 lebih dari 1.654 sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (SD-SMP) yang melayani 18.176 ABK dengan disabilitas. Sementara jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) baik negeri dan swasta sebanyak 1.785 sekolah. Sejak delapan tahun terakhir pendidikan inklusif telah menjadi solusi alternatif mewujudkan pendidikan untuk semua (Education for All).
Direktur PPK-LK Dikdas Dr. Mudjito A.K, M.Si mengakui bahwa pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi ABK disabilitas merupakan perkara yang wajib bagi pemerintah. Namun peran masyarakat dan pengusaha tidak dapat melepaskan tanggung jawab sepenuhnya kepada pemerintah. Karena jangkauan pelayanan pemerintah yang terbatas.
“Sebagian masyarakat yang memiliki ABK dengan disabilitas ini tidak menyekolahkan anak-anaknya karena malu. Sebagian lagi, kerena himpitan ekonomi. Selain itu masalah geografis maupun ABK yang tinggal di daerah pelosok dan 3T (Tertinggal, Terpencil, Terdepan/Terluar) sehingga menyulitkan mereka untuk bersekolah,” kata Mudjito.
Kesempatan yang Sama
Populasi anak berkebutuhan khusus di Indonesia diperkirakan mencapai 350 ribu orang. Namun, jumlah anak yang sudah masuk di jenjang pendidikan baru sekitar 85 ribu orang. Mereka ditampung di sekitar 1.600 sekolah luar biasa se-Indonesia. Artinya, pemerintah baru mengkomodir sekitar 30 persen anak berkebutuhan khusus. Selain faktor biaya, banyak orang tua yang cenderung menyembunyikan anaknya karena merasa malu.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendibud) Bidang Pendidikan, Prof Musliar Kasim PhD menyampaikan bahwa masalah yang dihadapi pemerintah saat ini, yakni kurangnya kesadaran masyarakat khususnya para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk menyekolahkan anaknya. Itu sebabnya, Musliar Kasim menyerukan agar masyarakat jangan rendah diri jika memiliki anak berkebutuhan khusus.
Untuk meyakinkan masyarkat agar mau menyekolahkan anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus atau cacat, peran seluruh elemen masyarakat sangat menentukan. Menyikapi permasalahan ini, Elyus So salah seorang penyandang cacat yang berhasil mengumpulkan puluhan penyandang cacat dalam satu organisasi bernama Persekutuan Penyandang Cacat Immanuel di Medan, Sumatera Utara selalu memberikan motivasi dan dorongan kepada orangtua dan anak-anak mereka yang cacat atau berkebutuhan khusus untuk tetap sekolah dan belajar mandiri.
”Pada awal membentuknya, saya selalu ditolak dan diusir. Tapi semangat saya makin menyala-nyala ketika diusir. Karena, yang ada di benak saya adalah agar anak-anak atau orang tua yang menderita cacat tubuh dan memiliki anak berkebutuhan khusus tidak larut dalam kesedihan,” tandasnya.
Elyus So yang sejak lahir terkena polio dan tulang punggungnya lemah, sampai hari ini tetap bersemangat untuk memberikan motivasi kepada setiap orang yang ia temui, khususnya penyandang cacat. Walau hanya bisa bergerak dengan kursi roda dan sepeda motor yang telah dimodifikasi sedemikian rupa, Elyus So juga selalu ikut dalam kegiatan sosial membantu penyandang cacat memperoleh kaki dan tangan pengganti.
”Penyandang cacat dan anak berkebutuhan khusus masih memiliki harapan untuk hidup mandiri dan memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Kalau bukan kita yang mau memberikan perhatian terhadap mereka, lalu siapa lagi ?” tandasnya.
Apa yang disampaikan Elyus So sama persis dengan yang disampaikan Kepala Sekolah i-Homeshooling Andreas Saputro bahwa di luar sana masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus dan penyandang cacat yang membutuhkan perhatian pemerintah, masyarakat terlebih orang tuanya sendiri. Sebab, tak ada manusia yang mengetahui dimana ia lahir, bagaimana kondisinya lahir dan dilingkungan mana ia dibesarkan kelak.
Penulis adalah kontributor SWATT Online di Medan, Sumatera Utara.