Maraknya aksi sweeping dan razia di bulan puasa membangkitkan kenangan tersendiri bagi Endang, seorang mantan pekerja seks di Jakarta. Perempuan yang kini berumur 29 tahun itu punya pengalaman tak terlupakan saat terkena razia.
“Waktu itu ada mobil datang. Mobil biasa, bukan mobil aparat gitu. Ya saya kan seneng wong mobilnya bagus, malah kita berhentiin jadinya,” kata Endang Suryanti yang dilacurkan oleh pamannya sendiri di usia 12 tahun, saat berbincang dengan detikcom baru-baru ini.
Begitu mobil berhenti, pintunya langsung dibuka lalu Endang disuruh masuk. Tanpa pikir panjang, Endang masuk dengan girangnya dan berpikir dirinya sedang beruntung dapat pelanggan bermobil. Tidak ada negosiasi harga, sebab ia yakin orang bermobil pasti banyak duitnya.
“Kagetnya setelah di dalam Mas. Saya lihat temen-temen saya, yang di luar kok malah pada lari. Lho ada apa ini, eh ternyata razia. Ya artinya saya ketangkep,” tutur Endang yang meninggalkan dunia prostitusi setelah bergabung dengan Yayasan Bandungwangi, sebuah yayasan untuk pendampingan bagi para pekerja seks.
Di bulan puasa seperti sekarang ini, razia terhadap para pekerja seks kembali marak dilakukan. Sebagian menilainya perlu dilakukan untuk menjamin ketertiban selama umat Muslim menjalankan ibadah puasa, sebagian lagi menilai upaya seperti ini tidak menyentuh akar persoalan.
Endang tidak ingin memposisikan diri untuk menilai untung rugi adanya razia, namun ia prihatin dengan kondisi para pekerja seks khususnya yang masih di bawah umur. Tidak sedikit dari mereka yang melakukan pekerjaan berisiko karena benar-benar tidak punya pilihan lain.
“Saya itu kalau lihat mereka, jadi ingat masa-masa lalu saya sendiri. Ada masanya saya pernah ada di posisi mereka,” kenang Endang dengan ekspresi yang mendadak datar, dari yang tadinya geli mengenang pengalaman-pengalaman lucu.
Dulu pada umur 12 tahun, Endang dikirim bapaknya dari Purwokerto, Jawa Tengah ke Jakarta untuk dititipkan pada seorang uwak alias paman di daerah Prumpung, Jatinegara, Jakarta Timur. Di seputaran wilayah tersebut, ia disuruh berjualan teh botol dan makanan ringan.
Endang kecil yang masih lugu awalnya tidak paham mengapa untuk berjualan teh botol saja ia harus berdandan menor. Ia baru paham setelah melihat sendiri aksi para seniornya. Meski dalam hati ingin menjerit, tak mudah baginya untuk menolak, sebab ia pun tidak tahu mau ke mana kalau mau kabur. Jakarta bukan kampung halamannya.
Belum lagi karena bos alias maminya adalah uwaknya sendiri, tentu ia harus khawatir hubungan baik antar anggota keluarga yang bisa jadi runyam kalau dirinya bikin ulah. Saat itu, Endang merasa tidak punya pilihan selain menurut saja.
Kondisi yang sama juga banyak menimpa para pekerja seks di bawah umur yang saat ini menjadi dampingan Yayasan Kusuma Buana, Jakarta. Wisnu, staf program dari yayasan tersebut mengatakan ada faktor tradisi di daerah tertentu yang memposisikan anak perempuan sebagai aset untuk mendulang rupiah.
“Bahkan dulu ada sistem ijon, anak perempuan sejak SD sudah di-booking oleh sponsor. Dia jadi jaminan utang keluarganya. Makanya ada cerita di satu daerah, kalau seorang bapak sedang mencangkul di sawah lalu mendengar istrinya melahirkan, dia akan tanya dulu anaknya laki-laki atau perempuan. Kalau perempuan, dia akan cepat pulang. Tapi kalau laki-laki cuek saja, diselesaikan dulu pekerjaannya di sawah,” kata Wisnu. [dtc]