Anak-anak Indonesia masih banyak yang belum merdeka untuk menikmati dunianya. Anak-anak yang seharusnya bisa menikmati waktu bermain, belajar dan berinteraksi dengan teman-teman seusianya justru sebaliknya menikmati hidup dijalanan menjadi pengamen dan peminta-minta. Sadar atau tidak sadar, kita sering melakukan kekerasan terhadap anak dengan ragam bentuk yang berbeda-beda. Ada yang memukul, memaksa anak bekerja, memperkosa dan kekerasan bentuk lainnya.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menegaskan selama 2012 lembaganya menerima 2.637 laporan kekerasan terhadap anak-anak. Sebagian besar terkait kekerasan seksual.
“Kami menerima 2.637 laporan kekerasan pada anak, 62 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual. Selebihnya kekerasan fisik,” kata Arist dalam sebuah kesempatan.

Kekerasan terhadap anak berdasarkan laporan tahun 2012 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Pada 2011, lanjutnya, Komnas Perlindungan Anak menerima 2.509 laporan kekerasan terhadap anak. Komposisinya sama, kekerasan seksual juga lebih mendominasi.
“Sekitar 52 persen merupakan kekerasan seksual, jadi pada 2012 kekerasan seksual pada anak naik 10 persen. Artinya, tahun ini bisa menjadi tahun darurat kekerasan seks terhadap anak,” paparnya.
Menyikapi makin tingginya angka kekerasan terhadap anak, Arist Merdeka Sirait menyerukan agar kelompok perempuan, pegiat anak dan HAM, serta seluruh kelompok masyarakat melakukan aksi menuntut diubahnya UU guna memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
“Tahun 2013 adalah (tahun) darurat kekerasan seksual terhadap anak, masyarakat harus menuntut agar negara meningkatkan hukuman bagi dewasa yang melakukan kekerasan seksual,” katanya.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku, pelaku kekerasan seksual terhadap anak hanya dapat dihukum maksimal 15 tahun penjara. Akan tetapi tidak pernah ada (vonis) hukuman seperti itu terhadap pelaku perkosaan. Itu sebabnya, kita harus dorong supaya hukumannya minimal 15 tahun maksimal 20 tahun.
Hukuman sampai 20 tahun apakah langsung memberikan efek jera terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak untuk tidak mengulanginya ? Apa yang disampaikan Arist adalah data untuk nasional. Sementara untuk Sumatera Utara sendiri, berdasarkan catatan Pusaka Indonesia bahwa sepanjang 2012 ada 218 anak yang menjadi korban dari tindak kekerasan, pencabulan, eksploitasi dan perlakuan salah lainnya.
Tidak Terungkap ke Permukaan
Data ini dihimpun dari berbagai media massa baik lokal maupun nasional dan kasus-kasus yang ditangani langsung oleh Yayasan Pusaka Indonesia. Ini menunjukkan anak masih menjadi kelompok yang rentan dari tindak kekerasan yang dilakukan orang dewasa dan juga teman sebayanya.
Staf Divisi Anak dan Perempuan Yayasan Pusaka Indonesia Mitra Lubis, SH kepada sejumlah wartawan mengatakan bahwa Kota Medan merupakan daerah tertinggi terjadinya anak yang menjadi korban tindak kekerasan mencapai 72 korban, kemudian di urutan kedua Kabupaten Deli Serdang dengan 29 Korban, disusul Kabupaten Serdang Bedagai. Sedang ditinjau dari pelaku, ada 63 orang yang tidak dikenal merupakan pelaku kekerasan terhadap anak, kemudian pacar sebanyak 38 orang dan tetangga 30 orang.
“Catatan kita, pendidikan korban adalah SMA mencapai 74 korban, kemudian SMP 66 korban, dan SD 36 korban. Usia yang paling rentan terjadinya tindak kekerasan terhadap anak yang paling dominan diusia 15-16 tahun mencapai 60 korban dan usia 17-18 tahun mencapai 56 korban,” paparnya.
Kasus kekerasan yang menimpa anak, kata Mitra Lubis masih sangat banyak dan tidak terungkap ke permukaan. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan bahkan mengerikan, karena menimpa anak-anak yang didominasi generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa.
“Negara memiliki tanggung jawab penuh untuk menjamin kesejahteraan dan melindungi hak-hak warga negaranya, termasuk hak-hak anak. Negara harus menjamin hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi setiap anak, sebagaimana yang diamanatkan UU Perlindungan Anak No.23 tahun 2002. Sudah begitu banyak undang-undang beserta turunannya yang mengatur hak-hak anak, akan tetapi kenyataannya semakin banyak pula ditemukan anak yang berkonflik dengan hukum,” jelasnya.
Kita tidak dapat menutup mata terhadap masalah yang menimpa anak-anak. Kasus-kasus pencabulan, penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, eksploitasi, trafficking dan lainnya yang banyak menimpa anak-anak, harus segera dituntaskan dan menghukum pelakunya semaksimal mungkin sehingga akan memberikan efek jera bagi pelaku maupun orang yang mempunyai niat jahat, jangan sampai ada tebang pilih.
“Kita berharap di tahun 2013 ini, semua elemen terkait agar tetap mengenali dan memenuhi tugas-tugasnya dalam mengawal perlindungan anak. Karena kegagalan melindungi anak-anak akan mengancam pembangunan nasional dan menimbulkan efek negatif bagi kelanjutan cita-cita bangsa dan negara ini ke depan,” tandasnya.
Makin tingginya tindakan kekerasan terhadap anak dan sesama anak belakangan ini sangat erat kaitannya dengan tindakan kekerasan yang akrab dipertontonkan lewat media massa maupun media elektronik. Hampir setiap hari siaran televisi kita menyiarkan berbagai adegan kekerasan demi kekerasan yang dilakukan di rumah tangga, dijalanan, di sekolah dan semua fakta tersebut sangat berpengaruh pada mental psikologis mereka karena kekerasan menjadi bagian dari kehidupan. Kekerasan nampaknya bukan hanya milik laki-laki saja tapi nampaknya wanita pun merasa memiliki hak yang sama untuk melakukannya.
Pembelajaran tentang budi pekerti, benteng rohani lewat pendidikan agama di sekolah dan keluarga diharapkan mampu meredam dan mengurangi angka terjadinya kekerasan terhadap anak. Semoga. | James P. Pardede