Tahun 2012 telah berlalu. Kita banyak menyaksikan di tahun itu cukup banyak konflik yang terkait agama dan umat beragama. Tulisan ini hendak membahas hal itu. Karena sejarah, sebagaimana orang bijak berkata, berguna untuk dipelajari dan dievaluasi agar kita tak terperosok di lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Beberapa konflik yang mengemuka di tahun itu, yang cukup banyak terjadi adalah, yang bersinggungan dengan kelompok minoritas seperti Syiah, Ahmadiyah, dan Kristen. Mungkin perlu disebut juga beberapa peristiwa kontroversial yang sempat menyedot perhatian publik seperti datangnya Irshad Manji dan Lady Gaga.
Konflik itu secara umum bisa difragmentasikan dalam ketegangan antara kelompok mayoritas versus minoritas. Ini merupakan hal yang lumrah terjadi di berbagai negara, tidak saja di Indonesia. Pertanyaannya: mengapa bisa demikian?
Polarisasi mayoritas versus minoritas, menurut para pakar konflik, biasanya berakar dari monopoli relasi kelompok mayoritas terhadap domain kuasa. Dominasi mayoritas dalam relasi kekuasaan meniscayakan adanya kepemilikan sumber kekuasaan pada kelompok mayoritas itu.
Kepemilikan kekuasaan, baik secara politis atau ideologis, mendorong pola konflikzero sum game: kami benar, sehingga tak ada opsi lain untuk kalian kecuali salah; kami mesti menang dan tak ada pilihan apapun bagi kalian kecuali mesti kalah dan tunduk pada kuasa kami.
Pola konflik seperti inilah yang berpotensi besar memunculkan kekerasan. Pola konflik ini juga bisa menjadi parah jika tindak kekerasan itu mendapat justifikasi dan legitimasi dari penguasa. Pembiaran merupakan “saham dosa” milik pemerintah yang mestinya menjamin penegakan hukum dan kerukunan umat beragama.
Konflik yang mengandung unsur agama memang paling susah untuk diakhiri dan dicabut akar-akarnya (dideradikalisasi) dibanding, misalnya, sengketa tanah. Orang bisa berbeda pendapat tentang apakah konflik terkait Syiah, Ahmadiyah, Kristen dan semacamnya itu konflik yang hanya mengatasnamakan agama atau itu memang murni konflik agama.
Namun demikian, fakta yang tak bisa dielakkan adalah konflik yang mengandung unsur agama tentu saja menyeret watak yang inheren dalam agama itu sendiri, yakni kebenaran mutlak. Watak kebenaran mutlak yang dibawa tiap agama, atau mazhab yang mendaku sebagai representasi paling original dalam agama, berpotensi besar untuk meniadakan eksistensi kelompok lain.
Watak sebagai satu-satunya yang paling benar itu, tak bisa dimungkiri dan tak bisa dihapus begitu saja, ada dalam setiap agama. Ini, pada hemat saya, memang bukan kesalahan agama itu sendiri. Sebab, yang lebih signifikan untuk dievaluasi kemudian adalah bagaimana mengatur kebenaran mutlak itu agar tidak berujung pada sikap zero sum game. Pola semacam ini, yang terdapat pada konflik setahun lalu, cenderung memperkeruh konflik.
Untuk meminimalisasi potensi konflik itu, agaknya kita memang perlu lebih aktif unuk memasyarakatkan konsep twin toleration (toleransi kembar). Konsep ini, pendek kalimat, begini: agama menoleransi negara untuk tidak memaksakan ajarannya sebagai representasi pandangan atau mazhab resmi negara; dan negara menoleransi agama dengan bersikap “netral” agama. “Netral” agama yang dimaksud adalah menempatkan semua agama dalam posisi yang sama—atau semacam konsep yang dalam bahasa hukum disebut dengan equality before the law.
Kenyataan yang terjadi di lapangan, yakni ketika terjadi pembiaran aparat hukum terhadap tindak kekerasan kelompok mayoritas, adalah seolah-olah negara bermazhah resmi dengan pandangan kelompok mayoritas itu. Dalam konflik Sunni-Syiah di Sampang misalnya, cukup kelihatan bagaimana negara lebih mengakomodasi aspirasi mayoritas Sunni yang mengaggap sekte Syiah sebagai sesat.
Yang dikhawatirkan dari sikap negara semacam ini adalah, kelompok mayoritas akan mendapat legitimasi dari negara. Padahal, jika mengacu pada prinsip konstitusi negara ini, yang notabene negara sipil sekaligus negara hukum, sikap negara terhadap warganya mesti mengacu pada hak kewarganegaraannya untuk mendapat perlindungan.
Tantangan lain yang tak kalah penting juga adalah bagaimana meneguhkan komitmen umat beragama terhadap keragaman bangsa ini. Jika memang benar bahwa negara ini bukan negara agama, tetapi negara yang berbasis falsafah nasionalis-religius ala Pancasila, maka tiap agama tidak boleh mengesampingkan fakta bahwa dirinya adalah salah satu elemen dari kepercayaan yang berkembang di tubuh rakyat.
Falsafah negara kita, jelas, adalah bhinneka tunggal ika. Falsafah itu lahir dari fakta keras akan kemajemukan (pluralitas) bangsa ini. Dari falsafah itu, para pendiri negara ini berharap, mestinya kemajemukan ini menjadi berkah, bukan pemicu konflik.
Kemajemukan akan menjadi pemicu konflik bilamana beberapa pihak cenderung mencari titik tengkar, bukan titik temu. Akibatnya, bukan persatuan yang diperoleh, melainkan justru perpecahan.
Bagaimana mengelola kemajemukan itu, nampaknya kita masih dalam proses untuk merumuskan dan mewujudkannya. Ada hipotesis yang menyatakan bahwa selepas Orde Baru yang memaksakan pandangan monolitik, kehidupan keberagamaan kita justru terancam sebab dulu yang tiarap kini bangkit melawan dan dulu yang terbungkam kini bisa bebas lantang bicara. Ini tantangan yang tidak mudah diatasi tapi tetap harus dihadapi. |AAF|