
PASAL penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Revisi Kitab Undang- undang Hukum Pidana harus dirumuskan lebih spesifik agar tidak terjebak dalam pasal karet. Juga harus dijelaskan penghinaan tersebut ke arah personal atau institusi/lembaga.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Arie Sujito mengatakan, khawatir pasal itu bisa menghilangkan sikap kritis banyak kalangan terhadap presiden. Padahal, dalam sistem berdemokrasi autokritik dan kebebasan berbicara harusnya dikedepankan.
“Jangan sampai pasal itu jadi jebakan baru atau pasal karet yang dapat memberangus kebebasan warga sehingga sikap kritis jadi terbungkam,” ujarnya.
Arie berpendapat, presiden ialah milik publik. Publik yang memilih presiden dan publik pula yang dapat mengkritik.
“Kritikan itu sehat dalam demokrasi daripada pakai kekerasan. Lagi pula di dalam kritikan itu tentu ada argumentasi bukan karena asal cuap,“ tandasnya.
Sementara itu, Proteksi Anggota Komisi III Indra menyayangkan pemasukan pasal tentang delik pidana penghinaan presiden dalam draf RKUHP dalam Pasal 265.
Apalagi, hal itu sudah pernah dicabut Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga seharusnya putusan MK harus dipatuhi untuk tidak dicantumkan kembali.
“Sebagai pelaksana putusan pengadilan, pemerintah tidak boleh abai dan arogan memaksakan pasal tersebut untuk dihidupkan kembali ke dalam RUU KUHP,” cetus Indra.
Karena itulah, tambah dia, upaya pemerintah memasukkan kembali pasal penghinaan itu ke RUU KUHP bisa dikatakan sebagai cara membungkam sikap-sikap kritis masyarakat. Gaya pemerintah itu dinilai sebagai upaya mengekang kebebasan berpendapat masyarakat di muka umum.
“Ini jelas sebagai bentuk kemunduran berdemokrasi yang belakangan sudah berkembang di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Pasal penghinaan presiden berpotensi mengembalikan pemerintahan yang represif dan otoriter,” tegas Indra.
Ia menilai penggunaan kata menghina rancu dan cenderung seperti pasal karet.
“Tafsir bisa luas dan disalahgunakan, serta dapat berdampak negatif pada demokratisasi Indonesia,” imbuhnya.
Hal senada juga dikatakan anggota Komisi III DPR asal PKS Indra, menurutnya, harga diri Presiden dibangun berdasarkan berbagai kebijakan yang pro rakyat, program-progam yang bisa mensejahteraan rakyat, penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pemberantasan narkoba dan pemberantasan premanisme.
Ia pun meminta pasal penghinaan Presiden dalam draf perubahan RUU KUHP sebaiknya di hapus atau dikonstruksi ulang redaksinya.
“Menjaga marwah Kepala Negara cukup dengan menampilkan sosok Presiden yang beritegritas, cerdas dan konsisten dengan program pro-rakyat. Bukan dengan upaya mengekang kebebasan berpendapat warganya di muka umum melalui pasal-pasal karet,” ujarnya.
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR Nurhayati Ali Assegaf mengatakan justru pasal tersebut perlu dimasukkan ke RUU KUHP. Menurutnya, pasal itu berguna untuk memproteksi presiden sebagai simbol negara dan untuk menghormati hak asasi kepala negara.
“Presiden dan wapres adalah simbol Indonesia. Selain itu, juga sebagai proteksi dan melindungi HAM presiden, bagaimana perasaan keluarganya dan bagi pemilihnya juga,“ ujar Nurhayati. (sol/mi)