
Setelah berusia lebih dari 30 tahun, terutama dari kalangan wanita akan banyak yang menyampaikan keluhannnya pada bagian sendi dan tulang.
Dengan semakin banyaknya pemeriksaan penyakit tulang dan sendi yang akrab ditelinga kita dengan sebutan osteoporosis membuat beberapa orang dari antara kita meyakini bahwa pemeriksaan yang dilakukan di pusat-pusat perbelanjaan dengan alat-alat tertentu bisa mendeteksi apakah tulang dan sendi kita sedang bermasalah.
Menurut salah seorang pembicara Dr. dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR pada acara Mini Symposia of Pain and Bone The Management of Osteoarthritis and Osteoporosis “From Basic Sciences to Clinical Praticies” di Medan, Sabtu (1/6) lalu menegaskan bahwa pemeriksaan dengan alat-alat tertentu tersebut bukan jaminan untuk mendapatkan hasil deteksi yang akurat tentang penyakit sendi dan tulang serta tata cara pengobatannya.
Bondina Marpaung justru menganjurkan kalau kita ingin tahu lebih lanjut tentang keluhan di bagian sendi dan tulang, berkonsultasilah dengan dokter keluarga. Pemeriksaan di mal-mal itu bisa mensugesti kita menderita penyakit tulang keropos dan ujugn-ujungnya termakan rayuan untuk mengkonsumsi sesuatu yang menjadi produk andalannya.
Seminar yang dilaksanakan PT MSD, Indonesia Orthopaedic Association (PABOI) dan Persatuan Osteoporosis Indonesia (PEROSI) ini juga menghadirkan pembicara dari Jakarta Prof. Dr. ErrolHutagalung, Sp.OT (K) dengan materi “A Better Approach to Caring for Patients with Osteoporosis” serta Dr. Otman Siregar, Sp.OT (K) Spine dengan materi “Management of Acute & Chronic Pain – Focus on etoricoxib, MSD).
“Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan erat kaitannya dengan masalah tulang. Diantaranya tentang kekuatan tulang manusia dipengaruhi oleh usia, massa tulang dan ketebalan tulang. Tulang manusia akan mengalami perkembangan dan pertumbuhan sampai usia 30 tahun. Itu sebabnya, dianjurkan agar sebelum usia 30 tahun manusia meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung kalsium dan vitamin D yang cukup untuk pembentukan tulang.
Seiring dengan perjalanan waktu dan usia, lanjut Blondina yang juga dosen FK USU bahwa massa tulang akan mengalami perubahan setelah berusia 30 tahun, setelah menopause, risiko patah tulang meningkat dengan hilangnya BMD, faktor genetik berkontribusi hingga 80 persen terhadap wanita yang berisiko osteoporosis.
Untuk lebih mempertegas tentang perhitungan massa tulang dan keberadaannya ke depan, Blondina juga mensosialisasikan FRAX ® sebagai Perangkat Perhitungan Resiko Patah Tulang WHO yang bisa diakses di http://www.shef.ac.uk/FRAX/, dalam mengakses laman ini harus dipastikan untuk perhitungan orang Indonesia dimana didalam laman ada bendera Merah Putih. Dalam website ini dituliskan bahwa pasien dengan resiko patah tulang yang telah dihitung sejak tanggal 1 Juni 2011 adalah 2.768 orang.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO – World Health Organization) kata Blondina, saat ini di seluruh dunia terdapat lebih dari 200 juta wanita menderita osteoporosis atau satu diantara tiga wanita di atas usia 50 tahun mempunyai risiko 40% menderita patah tulang di kemudian hari.
“Osteoporosis merupakah salah satu ancaman terbesar terhadap kualitas hidup para ibu. Penyakit ini menggerogoti secara diam-diam (silent disease) karena asupan kalsium kita berkurang,” kata Blondina.
SementaraProf. Dr. ErrolHutagalung, Sp.OT (K) menyampaikan bahwa perkembangan osteoporosis tidak hanya tergantung pada ketebalan tulang sejak awal kehidupan manusia, tetapi juga pada kesehatan tubuh setiap saat, diet, dan aktivitas fisik di kemudian hari. Semakin tebal tulang, semakin kecil kemungkinan tulang tersebut menjadi cukup tipis untuk rusak.
Pada kesempatan itu, Errol Hutagalung juga menjelaskan tata cara pelaksanaan pengobatan dan pemberian obat kepada pasien yang terdeteksi osteoporosis. Peserta yang terdiri dari dokter dan dokter spesialis dari berbagai rumah sakit yang hadir terlihat antusia mengikuti simposium. | James P. Pardede