Walikota Lhokseumawe, Suaidi Yahya menerbitkan surat edaran yang melarang perempuan duduk mengangkang saat dibonceng. Sebaliknya perempuan diwajibkan duduk menyamping.
Suadi Yahya menjelaskan aturan ini bertujuan untuk meningkatkan harkat martabat perempuan sekaligus untuk membedakan penampakan perempuan dan laki-laki ketika berkendaraan di ruang publik.
“Kalau duduk mengangkang seakan-akan dia itu laki-laki, seakan-akan dia itu preman. Tapi kalau duduk samping itu sudah otomatis secara penglihatan kita itu emang wanita. Lagipula budaya di Aceh, duduk menyamping itu budaya,” ujar Suaidi Yahya.

“Dari dulu orang Aceh kalo naik sepeda belum masa motor, tetap duduk dibelakang menyamping. Tetapi sekarang sudah hilang. Makanya kita perkuatkan budaya di kami budaya Aceh yang islami.”
Suaidi Yahya menambahkan, surat edaran ini menindaklanjuti masukan dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) kota Lhokseumawe dan Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) Wilayah Pase.
Ia juga mengatakan bahwa selama dua hingga tiga bulan ke depan, surat edaran ini akan dievaluasi .
Jika dianggap berhasil, maka surat edaran akan ditingkatkan menjadi semacam peraturan daerah atau peraturan walikota.
Surat edaran ini menuai protes di Aceh.
Forum Komunikasi Masyarakat Sipil (FKMS) Aceh Utara dan Lhokseumawe langsung menyatakan menentang surat edaran ini.
Salah satu anggota forum ini, yang juga Direktur LBH Apik Aceh, Roslina Rasyid menyebut aturan ini tidak penting, bias gender, dan diskriminatif.
Roslina juga mengecam sikap Walikota Suadi Yahya yang tidak melibatkan masyarakat luas dalam menerbitkan surat edaran ini.
“Kalau ia (Suadi Yahya) ingin membuat aturan, seharusnya membuat referensi lain di negara atau wilayah lain. Sebenarnya, di Malaysia yang juga menerapkan hukum syariah Islam, justru mereka melarang duduk menyamping,” tegas Rosalina.
Ketua Majelis Ulama Indonesia, Amidhan menegaskan kalau syariat Islam sendiri tidak secara tegas melarang perempuan untuk duduk mengangkang, hal itu menurutnya lebih menyangkut pada etika dan sopan santun.
Meski MUI menghormati hak otonomi pemerintah Aceh, namun Amidhan menilai dari segi keselamatan penumpang, duduk mengangkang ketika membonceng sepeda motor terbukti lebih aman, maka aturan tersebut lebih banyak mudharatnya.
“Kalau duduk mengangkang, dilihat dari ilmu Fikih itu bisa berbagai pendapat. Tapi mungkin dari segi budaya di Aceh, artinya dianggap tidak patut, melanggar etika,” demikian ujarnya sebagaimana dikutip situs Radio Australia.