
Prajurit Dua (Prada) Mart Azzanul Ikhwan, 24, anggota TNI aktif, terdakwa kasus pembunuhan terhadap kekasihnya dan calon ibu mertuanya, divonis hukuman mati oleh Pengadilan Militer Bandung, Jawa Barat.
Hakim Pengadilan Militer II-09 Letkol Chk Sugeng Sutrisno menegaskan terdakwa terbukti bersalah telah membunuh pacarnya, Sinta Mustika, 18, mahasiswa Stikes Kabupaten Garut yang tengah hamil enam bulan, dan ibunya, Popon, 39.
“Terdakwa (Azzanul) secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan berencana terhadap dua korban sekaligus, dan majelis menjatuhkan vonis mati,” tegas Sugeng yang memimpin persidangan tersebut, sebagaimana dikutip Koran Media Indonesia, Kamis.
Vonis tersebut lebih berat daripada tuntutan oditur militer yang menuntut terdakwa dengan hukuman pidana 20 tahun penjara.
Sugeng mengungkapkan terdakwa terbukti melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta Pasal 80 ayat 3 jo Pasal 1 butir 1 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002.
Saat mendengar putusan hakim, muka terpidana Azzanul langsung pucat. Ia tertunduk dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Adapun ratusan warga Desa dan Kecamatana Cisurupan, Kabupaten Garut, yang merupakan tetangga kedua korban, langsung menyambut baik putusan tersebut. Mereka riuh dalam persidangan karena tuntutan agar terdakwa dihukum mati dikabulkan majelis hakim.
Pada persidangan sebelumnya terungkap, sekitar dua bulan lalu Azzanul membunuh pacarnya, Sinta Mustika, dan ibunya di hutan, di kawasan Cisurupan. Pembunuhan dilakukan karena permintaannya agar sang pacar menggugurkan kandungan tidak dipenuhi korban dan ibunya.
Terdakwa juga kesal karena korban akan melaporkan terdakwa ke institusinya. “Tentara itu terlatih untuk perang dan punya kelebihan ketimbang masyarakat biasa. Jadi kalau mereka punya kelebihan, hukuman mereka harus luar biasa,” cetus Haris.
Dia menegaskan perlu ada aturan yang memperketat interaksi dengan rakyat sipil agar tentara tidak liar di tengah masyarakat, yang berujung pada situasi negatif. Haris pun mengharapkan ketegasan dan putusan majelis hakim di Pengadilan Militer II-09 Ban dung pun bisa dilakukan dalam kasus Cebongan.
Namun, dia mengakui hal itu akan sulit mengingat semangat pembelaan terhadap Kopassus begitu tinggi.
“Kalau dibandingkan dengan kekerasan TNI lain yang semangat pembelaannya rendah, kasus Cebongan pembelaannya sangat luar biasa. Kalau yang lain, tidak terlalu resisten,” kata Haris. (mi/sol)