Baghdad, Irak – Setidaknya 48 orang tewas dan 129 luka-luka ketika seorang pembom bunuh diri meledakkan rompinya yang sarat bahan peledak di pusat kota perdagangan Bab al-Moudham, Baghdad, Selasa (17/08), ketika orang-orang antri di luar sebuah pusat rekrutmen tentara Irak.
Juru bicara untuk komando militer di ibukota Irak, Mayor Jenderal Qassim Atta, mengatakan bahwa Perdana Menteri Nuri al-Maliki memerintahkan sejumlah pejabat yang dekat dengan penyerang akan ditahan untuk dimintai keterangannya lebih lanjut.
Atta mengatakan kepada televisi Al-Iraqiya bahwa Selasa merupakan hari terakhir dari rekrutmen selama seminggu dan sejumlah besar karyawan telah menunggu untuk mendaftar ketika serangan terjadi.
“Rompi pelaku bom tersebut diisi dengan 30 kilogram (66 pon) bahan peledak plastik C4, TNT dan bantalan bola,” kata Atta.
Serangan itu terjadi di tengah kegagalan negara untuk membentuk sebuah pemerintahan dan penarikan pasukan Amerika Serikat sesuai batas waktu yang diberikan oleh Presiden Barack Obama pada 31 Agustus mendatang untuk mengakhiri semua operasi tempur.
Misi bantuan PBB untuk Irak, atau UNAMI (The U.N. Assistance Mission for Iraq), mengutuk dan prihatin atas tindakan kekerasan lanjutan di negara itu, termasuk yang dilakukan selama bulan suci Ramadhan yang melambangkan nilai-nilai perdamaian, toleransi, kemurahan hati dan solidaritas.
UNAMI mengulangi pernyataannya bahwa perjanjian pembentukan pemerintahan akan sangat memberikan kontribusi untuk memperkuat kemampuan Irak dalam melindungi warga negaranya dan merespon secara efektif terhadap pihak yang bertujuan membuat ketidakstabilan dan ketidakamanan di dalam negeri serta membalik jalan ke arah perdamaian dan kemakmuran.
Pemerintah Irak telah mendorong peningkatan keamanan menjelang penarikan pasukan yang akan meninggalkan sisa kekuatan AS 50.000 tentara difokuskan pada operasi stabilitas serta memberikan saran dan membantu pasukan keamanan Irak.
Banyak warga Irak mempersalahkan gelombang kekerasan yang terjadi baru-baru ini pada kelumpuhan politik saat ini, di mana pihak yang bertikai telah gagal membentuk pemerintahan hampir enam bulan setelah pemilihan parlemen.
Serangan itu telah meningkatkan keprihatinan di antara rakyat Irak tentang kemampuan pasukan keamanan untuk melindungi mereka ketika mereka tidak dapat melindungi kantor pemerintah.
Seorang pejabat Departemen Dalam Negeri mengatakan dua bom di pinggir jalan meledak pekan lalu di tempat yang sama dan melukai tiga orang.
Kelompok-kelompok ekstremis seperti Al Qaeda di Irak, diketahui mengambil keuntungan dari celah politik untuk melakukan serangan lebih besar untuk menciptakan kekacauan lebih lanjut.
“Serentetan insiden lain juga terjadi pada hari Selasa,” kata seorang pejabat Kementerian Dalam Negeri, diantaranya:
– Sebuah generator terbakar di Baghdad timur yang menewaskan dua orang dan melukai 25 lainnya.
– Sebuah rangkaian penembakan dan pemboman berkendara di Baghdad dan provinsi Diyala yang menewaskan tiga orang dan lima terluka.
– Sebuah bom pinggir jalan yang melukai hakim yang memimpin persidangan di ibukota Baghdad.
– Sebuah bom mobil yang meledak di kota Balad Ruz timur laut ibukota, menewaskan dua hakim lainnya.
– Sebuah penembakan berkendara di lingkungan Ameriya Baghdad barat yang menewaskan seorang pejabat senior Departemen Perdagangan.
– Sebuah penembakan berkendara di Baghdad timur yang melukai tiga penumpang mobil.
– Sebuah granat tangan yang dilempar ke patroli polisi di Baghdad barat dan melukai seorang polisi dan seorang warga sipil.
Situs web iraqbodycount.org memperkirakan bahwa hampir 2.000 penduduk sipil Irak telah terbunuh tahun ini sampai dengan Juni.
“Kami bangsa yang terus berdarah,” kata duta besar Irak untuk Amerika Serikat, Samir Sumaidaie, kepada CNNI.
Ia menyebut serangan tersebut “tercela” dan juga mengatakan, “Kami tidak percaya ada kemungkinan bahwa mereka akan menggagalkan proses politik atau mengacaukan negara. Orang-orang sudah muak dengan mereka dan Saya tidak percaya mereka akan mencapai tujuan politik.”
Di Washington, Wakil Sekretaris Pers Gedung Putih Bill Burton mengatakan bahwa Presiden Barack Obama mengutuk serangan tersebut.
“Jelas masih ada orang yang ingin menggagalkan kemajuan yang rakyat Irak telah lakukan terhadap demokrasi, tetapi mereka kuat dan Kami yakin bahwa Kita bergerak menuju akhir misi tempur kita di sana,” katanya.
Krisis politik memburuk pada hari Senin (16/08), ketika mantan Perdana Menteri Irak Ayad Allawi dari partai al-Iraqiya mengumumkan bahwa ia menangguhkan pembicaraan dengan koalisi al-Maliki dalam menanggapi komentar yang ia buat dalam sebuah wawancara televisi.
Maysoon al-Damalouji, juru bicara al-Iraqiya, mengatakan kepada CNN bahwa kelompok tersebut memutuskan untuk menghentikan perundingan setelah al-Maliki menjelaskan daftar calon Allawi sebagai daftar “Sunni” dalam sebuah wawancara yang disiarkan Senin oleh jaringan Alhurra yang didanai AS.
Al-Damalouji mengatakan bahwa mereka menuntut permintaan maaf dari para pendukung al-Iraqiya. Allawi, seorang Syiah sekuler, mengepalai daftar al-Iraqiya lintas sektarian, yang memenangkan jumlah kursi terbesar dalam pemilu 7 Maret nasional. Sementara itu, Al-Iraqiya meraih sebagian besar suara Arab Sunni.
Keempat blok teratas terlibat dalam negosiasi yang panjang untuk mencoba membangun sebuah koalisi dengan kursi yang cukup untuk membentuk pemerintahan.
Sebuah koalisi mega-Syi’ah yang rapuh dibentuk pada bulan Mei antara hukum negara al-Maliki dan Aliansi Nasional Iran (INA), termasuk para pengikut radikal ulama Syiah Muqtada al-Sadr, namun koalisi tersebut runtuh bulan ini setelah INA menolak nominasi al -Maliki untuk masa jabatan kedua.
Allawi dan al-Maliki keduanya menuntut hak untuk memimpin pemerintahan berikutnya. Kedua blok tersebut juga telah mengadakan pembicaraan. Untuk membentuk pemerintahan, diperlukan mayoritas 163 kursi dari 325 kursi di parlemen. Blok Allawi menang tipis dengan 91 kursi, sementara al-Maliki memenangkan 89 kursi.
Pejabat Barat dan Irak, termasuk Allawi, mengatakan bahwa pemerintahan Irak mendatang harus inklusif dan representatif, atau kekerasan bisa saja terjadi lagi.
Sebagian besar Sunni memboikot pemilu 2005, menyebabkan munculnya pemerintahan yang dipimpin Syiah. Langkah ini meninggalkan minoritas berkuasa penuh dan berkontribusi pada perang sektarian dan pemberontakan berdarah yang mencengkeram Irak selama bertahun-tahun. (evy)
foto : CNN