Kolonel TNI Angkatan Udara Adjie Suradji, secara terbuka dan bernas mengkritik Presiden SBY lewat artikelnya berjudul Pemimpin, Keberanian, dan Perubahan, di kolom opini Harian Kompas terbitan Senin (6/9/2010). Dalam tulisan itu, Adjie mengutip Bill Newman tentang kepemimpinan bahwa yang membedakan seorang pemimpin sejati dan seorang manager biasa adalah keberanian.
Keberanian datang dari kepribadian yang kuat, sementara keraguan lahir dari kepribadian yang goyah. Keberanian mementingkan aspek keselamatan di luar (rakyat), sementara keraguan mementingkan aspek keselamatan diri sang pemimpin.
Adjie Suradji yang kini menjabat sebagai staf operasional di Mabes TNI AU, selain mengkritik kepemimpinan SBY dalam menggerakkan roda pemerintahan dan khususnya pemberantasan korupsi, juga mempertanyakan keberanian SBY sebagai Panglima Tertinggi TNI. Suami dari Meity Rotinsulu dan ayah dari Theo Natalie Barton ini ketika masih berpangkat Letnan Kolonel Penerbang pernah menjabat sebagai Komandan Lapangan Udara Sjamsudin Noor di Banjarmasin pada 1997-1999.
Perwira yang berani mengekspresikan intelektualitas dan moralitas itu, tampaknya telah menerobos disiplin militer yang melarang bawahan mengiritik atasan. Apalagi, sasaran kritiknya adalah Panglima Tertinggi TNI, yakni Presiden SBY. Sehingga lantaran tulisannya itu, Adjie sudah ditegur oleh Panglima Angkatan Udara, “Soal sanksi segera diberi, tapi masih dipelajari,” kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Bambang Samudro kepada VIVAnews, Senin 6 September 2010.
Terjadi pro-kontra atas keberanian Kolonel Adjie Suradji mengekpresikan kegelisahannya atas lemahnya kepemimpinan Presiden SBY. Para politisi Partai Demokrat dan loyalis Presiden SBY, memandang Kolonel Adjie sebagai pembangkang. Namun, para pengamat memandang kritik yang bernas dari seorang perwira TNI AU Adjie Suradji atas kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu merupakan ekspresi intelektualitas dan moralitas sebagian anggota TNI. Keberanian perwira mengkritik secara terbuka terhadap Presiden SBY selaku Panglima Tertinggi TNI hanya bisa terjadi di era demokrasi, dimana kritik dan koreksi individu dihargai dan diapresiasi.
Sebagaimana dikemukakan Direktur Riset Reform Institute dan Peneliti LP3ES Abdul Hamid, demokrasi memungkinkan siapapun yang cerdas, berani dan bertanggung jawab, untuk melancarkan kritik dan koreksi atas kepemimpinan nasional. “Kelemahan SBY menghadapi Malaysia dan membasmi korupsi, adalah puncak dari kegetiran banyak orang, termasuk anggota TNI sekalipun, untuk mengekspresikan pandangannya. Itu sehat dan dinamis,” kata Abdul Hamid, seperti dikutip Inilah.com.
Dari segi disiplin militer, Kolonel Adjie telah melakukan pelanggaran. Namun melihat bobot pesan, nilai, intelektualitas dan moralitas yang diusungnya dalam artikel yang diterbitkan Kompas, koran terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia, itu ‘Perwira Menengah Pemberani’ itu pastilah sudah mempertimbangkannya dengan matang. Tampaknya, dia sangat berani mengorbankan kepentingannya sendiri (mengorbankan posisi dan disiplin kemiliterannya) demi perbaikan (perubahan) kepemimpinan bangsa dan negara ini. Sebuah keberanian yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan demi kejayaan bangsa dan negara ini.
Demi mengetahui secara utuh pesan intelektualitas dan moral yang dilontarkan Kolonel Adjie Suradji, berikut ini kami sajikan secara utuh artikelnya di Harian Kompas, 6 September 2010.
dikutip lengkap dari tokohindonesia.com