Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengajak pers mengedepankan berita yang menguatkan toleransi kehidupan beragama. Sebagai “pilar ke empat demokrasi”, pers harus menjadi wadah dialog yang sehat diantara para pemeluk agama. Pemberitaan yang bersifat deskriminatif terhadap penganut agama minoritas harus dihindari. Pers juga perlu mengedepankan jurnalisme damai yang mendorong resolusi konflik, bukan eskalasi konflik.
Demikian press release yang dipublikasikan oleh Margiyono, koordinator Advokasi AJI Indonesia yang diterima SWATT ONLINE, Rabu (09/2) hari ini.
“Tragedi di Cikeusik dan Temanggung perlu kita jadikan bahan refleksi, apakah pers telah menjalankan peran dalam menciptakan sikap toleran,” kata Ketua AJI Indonesia, Nezar Patria. Ia juga mengingatkan, bahwa pers juga berfungsi untuk mendidik masyakat dalam hal menghargai perbedaan.
Dalam hal kekerasan terhadap warga Ahmadiyah, AJI mencatat masih banyak berita yang mempertajam perbedaan keyakinan. Pers sering memberi ruang narsumber melontarkan pernyataan-pernyataan bersifat menghasut.
“Tokoh-tokoh agama yang tidak toleran terhadap perbedaan diberi ruang besar oleh pers, sementara pemikiran yang toleran kurang mendapat porsi pemberitaan,” Nezar menambahkan.
Adapun terkait penyerangan gereja di Temanggung, AJI mencatat adanya pemberitaan yang menjadi penyulut kebencian terhadap umat Kristen dan Katolik terkait pengadilan kasus penistaan agama oleh Antonius Richmond Bawengan. Berita tersebut antara lain menyebutkan bahwa Antonius R Bawengan adalah seorang pendeta. Padahal, faktanya Antonius bukan seorang pendeta dan tidak memiliki afiliasi dengan gereja maupun organisasi keagamaan.
Selain itu, berita-berita juga hanya menuliskan bahwa Antonius menghina agama Islam. Padahal menurut Romo Antonius Budi Purnomo, ketua Hubungan Antar Agama Gereja Katholik, Antonius Bawengan juga menghina agama Katolik. “Berita yang tidak akurat dan tidak sensitif terhadap potensi konflik menjadi bahan bakar kerusuhan,” kata Nezar Patria lagi.
AJI menegaskan bahwa kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah merupakan hak asasi setiap orang. Hak tersebut selain dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 juga dijamin oleh instrumen hukum internasional.|Heru Lianto|