Aksi kedua-duanya, baik terorisme maupun kampanye anti terorisme yang telah mengakibatkan manusia yang tidak bersalah menjadi korban, merupakan tindak kejahatan terorisme. Korban terorisme tidak pernah mempersoalkan, apakah mereka terbunuh atau cacat sebagai akibat dari suatu kesengajaan atau ketidak sengajaan.
Terorisme yang dilakukan oleh teroris atau pejuang, juga bukan merupakan hal yang signifikan bagi para korban, yang telah kehilangan segala-galanya, termasuk dan terutama kegelapan akan hari depan anak-anaknya. Dewasa ini masyarakat internasional termasuk bangsa Indonesia masih dibayangi oleh rasa khawatir akan adanya bahaya terorisme yang dapat muncul lagi sewaktu-waktu.
Hal ini mengingat hakikat karakter terorisme yang selalu mampu untuk timbul kembali, setelah ketenggelamannya. Sifat tersebut laksana unslaying hydra (hewan imajiner Yunani yang tak pernah mati) (9/11 Commission Report, 2004) atau Candabirawa (raksasa sakti azimat Raden Narasoma dalam cerita wayang Jawa, yang selalu ‘patah tumbuh hilang berganti’). Terorisme dapat terjadi secara tiba-tiba terhadap sasaran siapa saja, tak terkecuali, tanpa batas-batas teritorial negara (borderless) di belahan dunia mana pun.
Suatu hal yang sangat menakutkan umat manusia karena terorisme tidak mengenal rasa belas kasihan. Anehnya, mengapa kekejaman seperti pembantaian terhadap orang lain yang tidak bersalah dan terkadang pengorbanan diri mereka sendiri, misalnya dalam peristiwa suicide bomb (bom bunuh diri), terkadang juga mendapat pembenaran? Karena sejarah mencatat, bahwa istilah ‘terorisme’ sebagai suatu definisi bersifat inkonsisten.
Beberapa individu yang sebelumnya dikenal masyarakat sebagai pelaku terorisme, pada waktu yang berbeda dan keadaan yang berubah, telah menjadi pahlawan yang di elu-elukan masyarakat. Contohnya, beberapa pemimpin kelompok teroris Yahudi seperti Yitzhak Shamir dan Manachem Begin, pada akhirnya berhasil mencapai kedudukan sebagai Perdana menteri Israel, setelah nama mereka dulu pernah tercatat sebagai pemimpin-pemimpin ’Palmach’ (1940) dan jaringan ’Irgun’ (1944), organisasi-organisasi kaum teroris yang paling dibenci Inggris bahkan dunia internasional.
Semua kini telah berubah dan keadaan bahkan telah terbalik, karena para teroris yang dibenci dunia itu kini diakui masyarakat internasional sebagai pahlawan-pahlawan. Dengan demikian terorisme menjadi sulit untuk dinyatakan sebagai suatu kejahatan yang tercela sepanjang sejarah, walaupun sepanjang sejarah pula, terorisme dalam etika, norma, moral, dan estetika kehidupan umat manusia tidak mempunyai nilai. Tapi mengapa para teroris tersebut justru menilai jiwa manusia hanya sebagai gejala materi semata-mata, membunuh tanpa batasan, dengan tak terkecuali? Jawaban atas pertanyaan tersebut bersifat epistemologis, yaitu karena para teroris dan simpatisannya sama-sama mengalami kegalatan kategori (category mistake).
Kegalatan kategori kategori mengandung arti ketidakmampuan untuk membedakan sesuatu terhadap yang lain.Apapun tentu saja Amerika Serikat memilih di Yaman, kebijakan Amerika harus menyeimbangkan prioritas yang saling bertentangan, kata Boucek. Masalahnya, katanya, adalah bagaimana pemerintah AS mendukung upaya-upaya kontraterorisme Yaman tanpa mendukung suatu rezim yang memiliki sedikit jika tidak ada legitimasi di mata orang-orang Yaman.