
Seorang ibu terburu-buru masuk ke salah satu supermarket waralaba yang menjamur di Indonesia. Dengan sigap ibu muda tadi mengambil keranjang dan mengisinya dengan beberapa jenis belanjaan. Ada susu, roti, kecap, mie instant dan makanan ringan lainnya. Saat berada di kasir, si ibu muda tadi mengeluarkan belanjaannya satu per satu seraya memperhatikan masa kadaluarsanya.
Oleh : James P. Pardede
Saya bergumam di dalam hati, walau pun si ibu muda tadi terburu-buru tapi masih menyempatkan diri untuk mengecek barang yang dibelinya satu per satu saat akan membayarnya di kasir. Mungkin, kalau ibu itu belanjanya tidak terburu-buru pastilah akan memperhatikan sebuah produk dengan seksama.
Setelah di ring oleh kasir, total belanjaan ibu muda tadi Rp. 70.450,- Lantas si ibu mengeluarkan uang Rp. 100 ribu rupiah. Si kasir mengembalikan sisanya Rp. 29.000 dan 5 buah permen. Si ibu tidak terima dan mengembalikan permen. Ia tetap meminta uang kembalian Rp. 29.550 atau pembulatan menjadi Rp.29.500,- Si kasir tetap berkeras dan mengatakan bahwa uang pecahan Rp. 500 lagi kosong.
Si ibu muda tadi berkata, kalau permen ini saya kumpulin mencapai harga Rp. 5.000 apakah bisa ditukar dengan uang ? Si kasir menggeleng sebagai pertanda tidak bisa. Lalu si ibu muda tadi memberi argumen, andaikan dalam sehari ada 100 orang yang berbelanja dan setiap pengembalian Rp, 500 ditukar dengan permen. Berarti akan ada uang Rp. 50.000 yang tersimpan setiap hari. Dalam sebulan ada Rp. 1.500.000 yang bisa tersimpan, bagaimana pula kalau setahun ? Jumlahnya bisa mencapai ratusan juta.
Setelah berkata seperti itu, si ibu muda tadi berlalu dan mengambil uang kembaliannya dengan perasaan kecewa. “Segitu aja diributin,” kata kasir sebelum ibu muda tadi keluar dari supermarket. Tanpa diduga, si ibu muda berbalik dan menunjuk wajah sang kasir. “Andaikan posisi saya ada di posisi kamu, kira-kira apa yang akan kamu lakukan ? Mungkin kamu akan protes lebih kasar dari saya,” kata ibu muda tadi dan akhirnya berlalu sambil membaca nama si kasir yang tertera di badge-nya.
Rasa kesal seperti ini mungkin tidak hanya dirasakan oleh si ibu muda tadi. Penulis sendiri bersama dengan isteri pernah mengalaminya dan menyurati manajemen supermarket lewat email, menyampaikan kekesalan lewat twitter dan facebook. Manajemen hanya meminta maaf dan berkata uang kembalian yang tidak dibaliki kasir akan diantar ke rumah.
Menurut Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen Farid Wajdi bahwa tindakan perusahaan supermarket seperti ini sesungguhnya bisa dibawa ke ranah hukum karena telah melakukan penipuan, dimana uang pelanggan diambil paksa dan menggantinya dengan permen.
Harga Murah atau Kualitas
Di kesempatan lain, seorang ibu membawa anak-anaknya berbelanja ke pasar buah. Saat berada di pasar buah, ibu dan anak-anaknya dihadapkan pada sebuah pilihan, mau beli produk dalam negeri atau produk luar negeri ? Sebagian dari kita akan memberi jawaban yang berbeda-beda.
Kalau menyangkut masalah nasionalisme dengan fanatisme mencintai produk dalam negeri, mungkin kita akan sangat fanatik dengan produk dalam negeri. Akan tetapi ketika diperhadapkan dengan masalah kualitas dan harga, yang muncul adalah pragmatisme. Dimana saat ini, kebanyakan orang memilih sebuah produk hanya karena harganya murah, kualitas urusan belakangan dan produk berasal dari mana urusan berikutnya.
Untuk membangun rasa nasionalisme, seperti disampaikan Farid Wajdi waktu yang tepat adalah saat anak-anak masih usia dini. Ketika usianya sudah dewasa, mereka akan memiliki rasa fanatik yang tinggi terhadap produk dalam negeri.
Dalam sebuah kesempatan, Dewan Pembina YLKI Widjanarka mengungkapkan bahwa konsumen yang nasionalis cenderung menilai bahwa membeli produk impor adalah sesuatu yang salah, karena itu merusak ekonomi domestik dan penyebab hilangnya lapangan kerja serta tidak patriotik. Kemudian, konsumen yang nasionalismenya tinggi cenderung memperhatikan aspek positif dari produk domestik dan mengabaikan kebaikan produk impor.
“Upaya Korea untuk menanamkan cinta produk negaranya sendiri memang tidak mudah. Sama halnya dengan Jepang dan negara tetangga kita Malaysia. Hingga akhirnya mereka memiliki kecintaan yang sangat tinggi terhadap produk mereka sendiri,” papar Widjanarka.
Kemudian, Direktur Eksekutif Institute Global for Justice (IGJ) Indah Sukmaningsih yang juga Pengurus YLKI menceritakan bahwa untuk membangun rasa nasionalisme itu harus dimulai dari diri kita sendiri. Nasionalisme itu kembali kepada apa yang kita miliki sendiri, kita bukan objek, tapi kita adalah subjek, jangan segalanya dibeli tanpa perencanaan yang matang dan hanya menjadikan nasionalisme sebagai barang antik. Kita harus berdaulat di negeri kita sendiri.
“Masalahnya sekarang adalah, apakah kita lebih memilih buah-buahan impor yang tahan disimpan di dalam kulkas selama 3 bulan atau memilih pisang barangan yang merupakan produksi local dan hanya tahan 2 atau 3 hari saja ?” paparnya.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan mutu produk Indonesia ? Bagaimana kontinuitas dan harganya ? Permasalahan ini sering menjadi perdebatan bagi konsumen dalam menentukan pilihannya. Sementara produk impor mampu menunjukkan keunggulannya, keseragaman dan daya tahannya.
Indah Sukmaningsih mengingatkan agar konsumen lebih teliti dan cerdas membeli produk dalam negeri maupun produk luar negeri. Teliti kualitasnya, masa kadaluarsanya, kandungan produknya serta yang lainnya. Hal-hal seperti ini akan menguatkan konsumen dalam menentukan pilihan.
“Jangan karena hal-hal kecil kita jadi salah dalam memilih produk. Kasus ikan dan tahu berformalin biar awet mewarnai kehidupan kita saat ini. Boraks pada bakso dan penyalahgunaan bahan berbahaya lainnya makin menyadarkan masyarakat, khususnya para ibu-ibu dalam memilih makanan yang aman dikonsumsi,” tandasnya.
Konsumen Cerdas
Membudayakan menggunakan produk dalam negeri, menurut Farid Wajdi juga bisa menjadi solusi masalah ketenagakerjaan. Dengan banyaknya perusahaan-perusahaan yang berdiri, secara otomatis semakin banyak pula tenaga kerja yang terserap, dengan demikian angka pengangguran pun bisa semakin dieliminir.
Sesungguhnya, kita bisa belajar pada China yang awalnya hanya industri rumahan namun bisa berkembang pesat. Produk China tersebar di penjuru dunia. Untuk menyamai China, industri nasional harus bisa menguasai pasar dalam negeri sepenuhnya. Nasionalisme suatu paham menciptakan dan mempertahankan kedaulatan dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
“Jadikan semangat nasionalisme sebagai suatu suasana bathin yang melekat dalam diri setiap individu. Sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari bangsa dan negara yang diimplementasikan dalam bentuk kesadaran dan perilaku yang cinta tanah air, cinta produk dalam negeri,” tutur mantan Dekan FH UMSU itu.
Dewan Pembina YLKI Widjanarka menambahkan, dalam meningkatkan nasionalisme konsumen harus ada upaya menciptakan gerakan nasionalisme konsumen yang paling emosionalis menjadi gerakan nasionalisme konsumen yang rasional pragmatis menuju konsumen cerdas dan mengerti haknya sebagai konsumen. *Penulis adalah Kontributor SWATT Online di Medan.