Gara-gara membawa heroin nyaris 1 kg, Nur Bidayati Akrimah (38) dijatuhi hukuman mati di China. Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat meminta pemerintah memberikan pembelaan penuh kepadanya.
Jumhur menuturkan, dia sudah bertemu kedua orangtua Nur Bidayati Akrimah, Tenaga Kerja Indonesia asal Andung Sili Rt 005/03, Mojo Tengah, Wonosobo, Jawa Tengah di kantor BNP2TKI Jl MT Haryono Kav 52 Jakarta pada Senin (28/3) sore.
“Yang datang menemui saya adalah bapak dan ibunya Nur Bidayati, yaitu Masruri dan Siti Aminah dengan ditemani Saudara Jamal selaku fungsionaris Dewan Pimpinan Nasional Serikat Buruh Migran Indonesia serta seorang Ketua SBMI Sulawesi Selatan. Dalam pertemuan itu saya juga didampingi staf khusus saya bidang komunikasi publik Saudara Mahmud F Rakasima,” jelas Jumhur dalam siaran pers, Rabu (30/3/2011).
Menurut Jumhur, Nur Bidayati terjerat kasus Narkoba jenis heroin di Baiyun International Airport, Guangzhou, RRC pada 17 Desember 2008. Nur Bidayati yang menggunakan Paspor RI No AL 120681 terbang dari Bandara Kualumpur dengan penerbangan China Southern No CZ 366.
“Saat di Bandara Guangzhou itulah Nur didapati membawa narkoba jenis heroin seberat 985 gram,” kata Jumhur. Nur Bidayati ditangkap aparat setempat dan kemudian ditahan di Rumah Tahanan No 1 Kota Guangzhou.
Akibat peristiwa itu, lanjut Jumhur, Kementerian Luar Negeri telah menyurati resmi orangtua Nur Bidayati pada 9 Januari 2009, perihal kronologis terjadinya kasus tersebut selain ikhwal pertemuan antara pihak KJRI Guangzhou dengan Nur Bidayati di tempatnya ditahan.
“Dalam surat ini juga disampaikan bahwa Nur Bidayati memperoleh barang bawaan itu dari seorang Warga Negara Ghana, Peter Arsen,” ujarnya.
Ditambahkan Jumhur, kementerian Luar Negeri juga mengirim surat lainnya untuk suami Nur Bidayati, Ahmadun pada 5 April 2010, menjelaskan hasil putusan pengadilan tinggi Guangzhou yang menguatkan putusan pengadilan sebelumnya terkait hukuman mati terhadap Nur Bidayati. Surat Kemenlu tanggal 5 April itu pun menceritakan pembelaan Nur Bidayati tentang dirinya yang merasa ditipu alias diperalat Peter Arsen dan bersikukuh tidak bersalah.
“Namun, seperti diceritakan kedua orangtua Nur Bidayati kepada saya, surat-surat dari Kemenlu itu tidak pernah diketahuinya karena ditahan oleh suami korban. Kedua orangtuanya baru mengetahui kasus yang menimpa anaknya pada Maret 2011 ini dan pada Sabtu (26/3), keduaorangtua Nur Bidayati menemui Bupat Wonosobo, Kholik Arif, sekaligus diminta untuk segera menemui Kepala BNP2TKI di Jakarta,” katanya.
Di hadapan keduaorangtua Nur Bidayati, Jumhur berjanji akan menelusuri kasus Nur Bidayati melalui Kemenlu dan KJRI Guangzhou. Di samping itu juga dijelaskan kasus yang dialami Nur Bidayati merupakan tindak kriminal dalam kategori serius dan bukan kasus murni TKI. “Jadi, ini bisa dikatakan kasus yang memerlukan penanganan ekstra penuh dalam wilayah pihak Kemenlu, karena terkait kasus berat yang bukan lagi dalam kaitan langsung dengan TKI,” paparnya.
Dengan begitu penanganan kasus Nur Bidayati memang tidak bisa dalam waktu singkat sebagaimana diharapkan kedua orangtuanya, mengingat umumnya negara di dunia menempatkan kasus ‘penyelundupan’ Narkoba sebagai tindak kriminal dengan proses hukum yang tidak ringan.
Namun demikian, Jumhur menyatakan pihaknya bersama Kemenlu dan KJRI Guangzhou akan mengikuti perkembangan kasus Nur Bidayati serta meminta dilakukan pembelalaan penuh guna meringankan kasusnya dari ancaman hukuman mati, apalagi Nur Bidayati telah merasa diperalat dalam kasus tersebut.
Nur Bidayati merupakan TKI Penata Laksana Rumah Tangga yang berangkat ke Hongkong pada 29 Februari 2008 melalui PT Dindin Berikat di Jakarta. Setelah bekerja selama delapan bulan, Nur Bidayati mengalami Pemutusan Hubungan Sepihak oleh majikan di tempatnya bekerja. Nur Bidayati lalu mendatangi agensi penyalur TKI di Hongkong sampai kemudian peristiwa naas itu pun dialaminya. Source : |dtc|