MAKASSAR, BKM — Unjuk rasa memperingati Hari Buruh Sedunia, di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Minggu (1/5), diwarnai aksi saling dorong antara ribuan buruh dengan aparat. Meski sempat mengepung pintu masuk bandara, para buruh gagal menduduki obyek vital itu. Akhirnya, para buruh hanya menggelar orasi di pintu masuk bandara. Aksi berjalan damai.
Unjuk rasa sempat melumpuhkan arus kendaraan di jalur pertigaan Jalan Perintis Kemerdeaan dan menuju bandara.
Aksi berlangsung hampir satu jam, sebelum para demonstran yang tergabung dalam Front Oposisi Rakyat Indonesia membubarkan diri.
Usai saksi di bandara, unjuk rasa para buruh yang datang dari Makassar, Gowa Maros dan Pangkep ini berlanjut di pintu satu PT Kawasan Industri Makassar. Aksi berjalan damai.
Juru bicara FORI Muh Haedir, mengatakan, aksi unjuk rasa buruh di bandara kemarin adalah bentuk peringataan kepada pemerintah atas tuntutan para buruh. Kendati tidak berhasil menduduki bandara namun Haedir mengaku pihaknya tetap akan menggelar kasi serupa pada momen lain.
“Kita akan kembali duduki bandara, jika tuntutan kami tidak terpenuhi,” tandasnya.
Pilih Seminar
Tiga konfederasi buruh memilih menyuarakan aspirasi mereka pada Hari Buruh Sedunia, Minggu (1/5) dengan melakukan seminar di Hotel Clarion, Makassar.
Seminar mengangkat tema mendesak pemerintah melakukan langkah keberpihakan terhadap nasib kaum buruh.
Tiga konfederasi buruh itu antara lain Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dan Serikat Pekerja Indonesia (SPI).
Ketua Serikat Pekerja Indonesia Jayadi Taha, mengatakan, peringatan Hari Buruh Sedunia kali ini dilakukan lebih elegan. Karena aksi turun ke jalan dinilai tak efektif lagi.
“Memperingati Mayday dengan menggelar seminar dan mengundang seluruh komponen terkait mulai dari kadisnaker, walikota, konfederasi dan gubernur adalah langkah yang efektif. Mereka bisa secara langsung mendengarkan aspirasi dari buruh,” jelas Jayadi.
Dalam seminar ini juga dilakukan kampanye nasional terkait sistem jaminan sosial nasional sesuai UU 40 Tahun 2004 dimana seluruh masyarakat dapat jaminan sosial kesehatan.
Jayadi juga mengatakan, desakan kampanye ini dilakukan karena sudah 5 tahun diundangkan namun belum berlaku efektif. Mestinya sudah dilaksanakan sejak oktober 2009. Namun ternyata sampai sekarang belum ada realisasinya,” katanya.
Koordinator Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) A Malantik, menambahkan, salah satu isu penting yang diangkat pada peringatan Mayday tahun ini adalah penghapusan sistem outsorsing. Menurutnya, sistem ini bukan memperbaiki nasib buruh, tapi justru perpanjang penderitaan buruh.
“Sistem outsorsing ini sebuah perbudakan modern karena pekerja atau buruh tidak memiliki kepastian bekerja di perusahaan. Jaminan sosial tenaga kerja amburadul, dan juga melemahkan kesejahteraan buruh,” jelasnya.
Malantik juga meminta agar pemerintah memperketat pengawasan terhadap perusahaan yang melakukan autsorsing. Karena ada perusahaan yang tidak layak dioutsorsing malah dipaksakan.
Sementara Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Mansyur Taba, mengatakan, secara global pemerintah sangat apatis terhadap kondisi buruh. Pemerintah kata dia, tidak melakukan langkah konkret dalam mengangkat kesejahteraan buruh. “Buktinya, untuk kebebasan berserikat saja kerap dikebiri,” jelas Mansyur.
Karena itu, melalui seminar dalam peringatan Mayday, diharapkan menghasilkan sebuah rekomendasi yang intinya menjadikan isu kesejahteraan buruh sebagai prioritas sentral.
Sementara itu, sejumlah serikat buruh di Kota Makassar melakukan aksi dialog di Hotel Singgasana, Minggu (1/5).
Dialog menghadirkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulsel, Saggaf Saleh, dan anggota Komisi E DPRD Sulsel, HM Adil Patu, dan beberapa nara sumber lainnya.
Sejumlah persoalan dibahas dalam dialog tersebut. Mulai dari berbagai persoalan yang dihadapi buruh dalam bekerja hingga gaji atau upah yang mereka terima yang tidak sesuai dengan UMP (Upah Minimum Provinsi).
Anggota Komisi E DPRD Sulsel, HM Adil Patu, mengawali pemaparannya dengan mengangkat berbagai kebijakan dan problematikan ketenagakerjaan. Diantaranya, penyiapan tenaga kerja, penempatan tenaga kerja, perlindungan tenaga kerja, pengawasan tenaga kerja dan perlindungan purna kerja.
Menurut dia, jumlah tenaga kerja dan pengawas tenaga kerja di Sulsel tidak rasional. Jumlah pengawas tenaga kerja hanya 47 orang, sementara jumlah perusahaan mencapai 12 ribu lebih perusahaan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Saggaf Saleh, menjelaskan, pihaknya terus memperhatikan dan menyelesaikan berbagai persoalan ketenagakerjaan yang terjadi di Sulsel.
SumbeR: beritakotamakassar.com