
Menjaga perbatasan negara tentunya bukan persoalan yang mudah. Tidak banyak orang yang mau merelakan dirinya mengabdi dan berkorban setiap hari hidup di wilayah perbatasan.
Adalah Isnan Muhammad, yang merupakan Pelaksana Pemeriksa Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Atapupu di Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Isnan diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada 1999, dan menjalani tugas pertamanya di Kupang. Pasca terbentuknya Republica Democratica de Timor Leste tahun 2002, Isnan dipindahkan ke wilayah perbatasan.
Saat ini, pria berumur 40 tahun tersebut sudah mencapai golongan 2D. Naik tiga tingkat dari golongan awal, Isnan diangkat sebagai PNS dengan pendidikan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) Muhammadiyah, Kupang. Pendapatannya setiap bulan Rp 2,5 juta.
“Gaji dan tunjangan seperti PNS lainnya, saya dapat Rp 2,5 juta,” ungkap Isnan saat berbincang di sela-sela tugasnya di KBPPBC Antapupu, Atambua, NTT, Jumat (23/5/2014)
Isnan berharap, pemerintah memberikan tunjangan tambahan sebagai penjaga perbatasan dari pemerintah pusat. Sebab, risiko yang sangat besar harus ditempuhnya setiap hari. Apalagi wilayah perbatasan Timor Leste rawan konflik.
“Kita ingin ada tunjangan perbatasan. Sampai sekarang itu belum ada,” tegasnya.
Selain risiko tersebut, hidup di perbatasan sangat rentan dengan biaya hidup yang tinggi. Terutama untuk mencukupi kebutuhan pokok. Seperti beras dan lauk pauk. Ayah satu anak ini pun akhirnya hanya mampu mensyukuri apa yang ada.
“Ya kita cukup-cukupkan saja. Kalau dikasih yang syukur, ya kita berdoa saja,” ujar Isnan sambil mengusap-usap kepalanya sendiri.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea Cukai Susiwijono Moegiarso mengatakan, pemberian tunjangan tersebut memang sangat penting. Tidak hanya untuk penjaga perbatasan, tapi juga untuk wilayah lain yang juga memiliki risiko tinggi.
Seperti pada wilayah Poso (Sulawesi). Beberapa tahun lalu sebelum pengenaan aturan larangan ekspor mineral dan pertambangan, hasil tambang tersebut digenjot habis-habisan untuk diekspor. Pada lokasi itu, pegawai Bea Cukai hanya berjumlah 5 orang dan harus mencapai pelabuhan dengan jarak ratusan kilometer.
“Bagaimana cara mereka harus melewati hutan belantara sampai di pelabuhan terus memeriksa puluhan kontainer berisi mineral. Wilayah sana juga idenktik dengan tindak kriminal yang tinggi yang pastinya mengancam pegawai,” kata Susiwijono.
Ia mengaku akan ikut memperjuangkan hal tersebut. Di samping juga hal-hal lain yang terkait dengan kebutuhan penjaga wilayah perbatasan. Seperti fasilitas sarana dan biaya operasional pekerjaan yang sampai sekarang masih sangat kurang.
“Itu memang sangat dibutuhkan untuk pegawai mendapatkan tunjangan risiko kerja,” tukasnya. [dtc]