Perang saudara Libya akhirnya memakan korban dua orang jurnalis foto yang meliput konflik politik di negeri Afrika Utara itu.
Adapun kedua korban itu adalah fotografer Inggris Tim Hetherington dan satu jurnalis lainnya adalah wartawan foto Amerika Serikat Chris Hondros.
Tim Hetherington, 41, dikenal sebagai salah satu sutradara peraih Oscar dalam film dokumenter Restrepo yang berkisah soal pasukan Amerika Serikat di Afghanistan.
Saat meliput perang Libya, Hetherington tengah bekerja untuk majalah Vanity Fair.
Sedangkan Hondros bekerja untuk Getty Images yang berbasis di New York dan dikenal sudah berpengalaman meliput konflik dan perang di seluruh dunia.
Dalam situs resminya Vanity Fair menyatakan duka cita yang mendalam atas meninggalnya Hetherington.
“Tim akan dikenang dari foto-fotonya yang luar biasa dan dokumenter Restrepo yang memenangkan Oscar,” kata Vanity Fair, seperti yang dikutip SWATT Online dari situs CNN
Tim, lanjut majalah itu, tengah berada di Libya dalam proyek multimedianya yang menyoroti isu-isu kemanusiaan di masa perang dan konflik.
Selain kedua fotografer yang tewas itu, dua wartawan lainnya Guy Martin yang bekerja untuk agensi Panos Pictures dan Michael Christopher Brown asal New York terluka di lokasi yang sama.
Para wartawan ini berada bersama sekelompok warga Misrata yang terjebak dalam hujan tembakan mortir di Tripoli yang merupakan jalan utama di pusat kota Misrata.
Pasukan pro Gaddafi menggempur Misrata sejak akhir Februari lalu dan diperkirakan serangan tersebut sudah mengakibatkan sedikitnya 300 orang warga sipil tewas.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Libya Abdul Ati al-Obeidi, mengatakan kehadiran militer Inggris akan ‘memperpanjang’ perang di wilayah tersebut.
Namun Menlu Inggris, William Hague mengatakan mereka bergerak sesuai dengan resolusi PBB untuk melindungi warga sipil.
Pemerintah Inggris mengatakan pasukan yang ditempatkan di Benghazi tidak terlibat lanngsung dalam pertempuran menghadapi tentara pemerintah Libya.
Menurut Hague, tentara Inggris hanya membantu penyediaan logistik dan pelatihan intelijen.
Selain Inggris, Prancis juga telah mengirim tentaranya dalam jumlah yang kurang lebih sama untuk melakukan misi serupa.
Obeidi menyodorkan usulan seperti yang juga disampaikan oleh Uni Afrika dalam penyelesaian krisis di Libya.
Dia mengatakan harus ada gencatan senjata yang akan diikuti dengan persiapan pemilu selama kurang lebih enam bulan yang pelaksanaannya nanti akan diawasi PBB.
“Kami berpendapat bahwa kehadiran unsur militer dari manapun merupakan sebuah langkah mundur, kami yakin jika pengeboman ini berhenti dan gencatan senjata secara nyata dilakukan maka kami bisa menggelar dialog dengan semua warga Libya,” kata Obeidi.
“Kita bisa berdialog tentang apa yang mereka inginkan, demokrasi, reformasi politik atau pemilu. Tapi itu tidak bisa dilakukan sekarang.”
Dia juga mengatakan pemerintahnya mempersilakan lembaga bantuan asing untuk masuk ke wilayah Misrata dan membantu warga yang jadi korban pertempuran kedua pihak. |SWATT Online|
Foto : Ilustrasi/Reuters.