Sampai hari ini, Indonesia masih memiliki kompleksitas persoalan anak yang belum terselesaikan secara menyeluruh dan konprehensif. Hal itu terlihat dari masih tingginya angka kekerasan terhadap anak dan masih banyaknya anak yang diperdagangkan, anak-anak kurang gizi serta anak-anak yang harus bekerja siang malam sebagai anak jalanan.
Demikian disampaikan Direktur Pusat Studi Hukum Anak dan Keluarga (PuSHAK) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Ahmad Sofian, SH,MA pada acara peluncuran buku “Memperkuat Penanganan Eksploitasi Seksual Anak” sekaligus peresmian PuSHAK dan Group Perkusi 82 di kampus UMSU Jalan Kapten Mukhtar Basri Medan, Selasa (11/1).
Lebih lanjut Ahmad Sofian mengungkapkan, menurut data BPS jumlah anak (usia 18 tahun kebawah) mencapai 79.898.000 jiwa. Sekitar 40 persen (30 juta jiwa) berada dalam situasi sulit dan 22 persen (17 juta) diantaranya paling rentan mengalami eksploitasi. Kemudian, dari jumlah tersebut, ada sekitar 232 ribu anak jalanan, penyandang cacat 189 ribu lebih, pekerja anak mencapai 5,2 juta anak, anak yang berkonflik dengan hukum 295 ribu, anak korban eksploitasi seks mecapai 182 ribu serta anak-anak terlantar lainnya yang kurang mendapat perhatian, kurang gizi dan memperoleh perlakuan tidak selayaknya dari orang dewasa.
Ahmad Sofian yang juga Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) ini menegaskan, tahun 2008 lalu PKPA pernah melakukan penelitian di kota Medan tentang anak-anak yang terlibat dalam bisnis pelacuran.
“Ada sekitar 2.000 anak yang masuk dalam bisnis pelacuran. Penelitian dilakukan dengan sistem jaring laba-laba, dimana dari 50 anak yang menjadi sampel, mereka memberitahukan teman-teman mereka yang juga ikut terjun menjadi pelacur. Dari jumlah tersebut, 45 persen berstatus sekolah SLTA, 30 persen SLTP dan sisanya putus sekolah,” paparnya.
Praktik pelacuran ini sangat sulit terpantau oleh media, lanjut Ahmad Sofian. Padahal, praktik ini sangat rentan dengan pelanggaran hak azasi manusia dan perampasan hak-hak anak. Dari penuturan anak-anak yang akhirnya terjun ke bisnis pelacuran ini alasannya adalah ingin mendapat uang untuk membeli BlackBerry, makan di tempat yang mewah serta kebutuhan lainnya.
“Saya tidak setuju penggunaan kata “kemiskinan” sebagai alasan anak-anak terpaksa harus terjun ke bisnis pelacuran. Akan tetapi karena kekayaan yang tidak merata. Karena, anak-anak yang terjun ke dunia ini tidak semuanya akibat faktor kemiskinan, tapi ada juga karena ingin mengikuti gaya hidup dan memperoleh kepuasan tersendiri,” paparnya.
Praktik pelacuran anak ini, katanya sangat rapi dan terorganisir dengan baik. Dimana, anak-anak yang dipelihara oleh Mami (germo) ditempatkan di salah satu rumah mewah di dalam komplek perumahan. Mengapa memilih rumah mewah ? Karena, biasanya orang yang hidup dan tinggal di kawasan komplek perumahan tidak ambil pusing dengan tetangganya. Setiap tahun, bisnis pelacuran anak ini mengalami peningkatan karena peminat dan permintaannya juga semakin meningkat.
Secara terpisah, Ahmad Sofian kepada SWATT Online mengatakan bahwa hukum di Indonesia masih sangat buruk dalam mengatur permasalahan hak-hak anak ini. Ada harapan dengan diluncurkannya buku ini bisa menambah wawasan dan semakin menyadarkan masyarakat kita tentang hak-hak anak dan PuSHAK UMSU bisa mengembangkan kajian-kajian tentang masalah hukum anak dan keluarga. Yang paling penting lagi adalah, PuSHAK menjadi salah satu wadah dalam memberikan edukasi kepada masyarakat luas yang terkait dengan isu-isu anak termasuk masalah hukumnya. (mes)