Surprise, mungkin untaian kata yang pantas dan tak berlebihan atas pidato yang disampaikan DR.Irman Gusman, Ketua DPD RI 2009–2014 dalam Pidato Pembukaan Sidang Bersama DPR dan DPD RI dalam rangka HUT Kemerdekaan RI ke-66 dengan agenda Pidato Kenegaraan Presiden RI, tentang Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2011. Hal yang terasa menggembirakan hati adalah bahwa pidato yang disampakan oleh Ketua DPD RI tersebut terasa sebagai suatu loncatan jauh serta oase di tengah gurun tandus, kering dan gersang.
Bagaimana tidak, di tengah kelangkaan para pemimpin bangsa yang mampu mengurai-sampaikan pelbagai persoalan kebangsaan dengan tegas, lugas, padat–berisi dan tentunya jujur–terbuka, hal tak terduga keluar dari mulut seorang Irman Gusman. Bukan bermaksud membanding-bandingkan, jika dikaitkan dengan Pidato Kenegaraan Presiden SBY sakalipun, pidato Irman Gusman nampak jauh lebih realistis.
Sebab, isi dari naskah pidato Irman Gusman mengungkap dan menyibak seluruh tabir gelap problematika mendasar bangsa, yang selama ini terkesan ditutup-tutupi. Misalnya, ketika SBY menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2011, yang notabene tidak akan gampang dipahami oleh rakyat kecil yang awam. Karena sesungguhnya APBN bukanlah sekadar penyampain angka-angka atau nominal belaka yang riuh rendah mendapat applause ketika terlontar peningkatan sekian persen digit.
Ketika Presiden menyampaikan kenaikan gaji PNS, TNI, dan Polri, hingga 10 persen yang sudah menjadi komitmen pemerintah, hampir seluruh anggota DPR riuh rendah bertepuk tangan. Ini adalah apresiasi besar pemerintah yang selaiknya ditunjang oleh prestasi dan capaian-capain kerja maksimal serta didahului dengan kebijakan reformasi birokasi yang baik. Menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah rakyat Indonesia terdiri dari PNS, TNI dan Polri saja? Apakah dengan menaikkan gaji hingga 10 persen sudah dapat kita katakan sebagai prestasi kemajuan pembangunan nasional? Justru yang terdengar dari pidato SBY itu hampir semuanya mendeskrpisikan persoalan-persoalan pragmatis rakyatnya.
Permasalahan yang nyatanya harus diinsyafi didominasi “itung-itung-an politik an-sich”. Tentunya karena rancangan anggaran sering tidak realistis, dan politik anggaran itu sendri sering pula tidak berpihak pada rakyat melalui pemanfaatan dana-dana yang belum maksimal menunjang laju pertumbuhan ekonomi rakyat . Di sinilah, anggaran belanja modal untuk pembangunan dikorupsi oleh para birokrat, politisi dan calo-calo anggaran.
Oleh karananya, Irman Gusman menilai erosi kepercayaan masyarakat (distrust civil society) kian akut terhadap pemerintah. Dia juga berpendapat lemahnya law enforcement terhadap pejabat tinggi pelaku korupsi menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum makin terdegradasi.
Performa aparat penegak hukum dalam melakukan tugasnya masih jauh dari harapan rakyat kecil. Menurutnya, kondisi demikian bisa jadi tercipta karena belum terwujud dan terjaminnya persamaan hukum (equality before the law), perlindungan hukum (legal protection) dan kepastian hukum yang adil, baik secara substantif, material maupun prosedural bagi seluruh warga negara baik di pusat maupun di daerah.
“Penyimpangan, ketidakarifan dan ketidakbijaksanaan menyebabkan hal itu terjadi. Sistem yang ada saat ini dinilai meminggirkan rakyat yang miskin, juga itu diakibatkan antara lain adanya indikasi perselingkuhan antara hukum dan politik, sebagaimana yang selama ini dilansir oleh media massa,” ungkapnya dalam pidato tersebut di Gedung Nusantara, Selasa (16/8/2011/Kompas.com). Ia menegaskan bahwa indikasi penyimpangan tersebut justru dilakukan oleh sejumlah elit hukum dan politik itu sendiri. Menurutnya, perselingkuhan antara hukum dan politik ini jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur perjuangan para pendiri bangsa (Founding Fathers).
Selain itu, hak-hak kelompok marjinal atau miskin masih terasa diabaikan. Pemerintah pusat menyerap aspirasi daerah tidak sepadan sehingga terjadi marjinalisasi. Misalnya, sikap pemerintah pusat terhadap rakyat Papua. Rakyat Papua telah sengaja dilupakan dan dipinggirkan oleh pemerintah pusat. Ironis, daerah-daerah yang menjadi penghasil sumber daya alam luar biasa dan penyumbang devisa serta pembangunan ekonomi pusat, justru menjadi sumber dan titik-titik kemiskinan.
Pengelolaan sumber-sumber energi nasional lebih mengutamakan pengusaha tambang kelas kakap dan mengistimewakan kontraktor asing. Dan tak sedikitpun membela hak rakyat kecil khususnya yang tinggal di area eksplorasi. Ini adalah suatu paradoksal, akibat pengelolaan kekayaan sumber daya alam yang tidak sesuai dengan konstitusi dan senafas dengan Pancasila. Sayang seribu sayang, daerah-daerah yang berbeda yang di negeri lain menjadi sumber persoalan, di negeri ini justru menyatukan diri, menciptakan kebersamaan, menjalin cita-cita suci untuk menegakkan kedaulatan, keadilan serta kemakmuran, malah dinistakan nasibnya.
Pemerintah menampilkan kemiskinan sebagai celeberasi bahkan korban dari kemakmuran luar biasa segelintir orang atau elit. Tontonan publik bak sinetron ecek-ecek di televisi mengenai penyimpangan oleh politisi dan pejabat penyelenggara negara seperti korupsi, kolusi, nepotisme dan makelar kasus hukum, politik anggaran keuangan, pajak, pertambangan, pertanian, pangan, pendidikan, kesehatan, tenaga kerja dalam dan luar negeri (TKI) dan jenis jaminan sosial lainnya harus menjadi perhatian serius dan dikoreksi.
Menurut Irman, koreksi total atas kinerja aparatus negara dari tingkat pusat sampai daerah mutlak dilakukan. Ini untuk menghindari rakyat berpikir seolah elit dan penguasa tidak peduli dengan agenda pemerintahan yang baik dan bersih, mengabaikan hajat hidup rakyat banyak dan melawan nilai-nilai religius yang menjadi naluri dasar bangsa nusantara ini. Betapapun kuatnya materialisme, liberalisme, hingga individualisme akibat erosi globalisasi, kita menjadi saksi sekaligus pelaku dari sukses negeri ini untuk tetap bersatu.
Betapapun sulit dan apapun kesulitan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, masih ada kesempatan untuk memperbaiki segala kekurangan yang terjadi saat ini. Sukses itu tak lain didasarkan pada kekuatan visi dan idealisme pada pendiri bangsa ini. Salah satu jalan keluar kritis yang harus ditempuh adalah pentingnya pendidikan karakter bangsa (nation and character building). Oleh karena itu, empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika sangat dibutuhkan untuk menjaga teguhnya bangsa Indonesia.
Segenap komponen masyarakat selayaknya pula menutup peluang dan kesempatan bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Harapan masih terbit, sebagaimana Matahari selalu setia menjadi fajar dari setiap gelap malam. Semangat perjuangan bersama dan proklamasi yang membentuk dan membangun negara ini perlu dibangkitkan kembali. Terlepas adanya pihak-pihak tertentu yang mungkin kurang senang hati dan merah telinga mendengar pidato seorang Irman Gusman yang notabene seorang yang berasal dari birokrasi, sebagai bagian dari rakyat kecil saya sungguh terkesan.