Cerita pilu hakim terus mengalir. Namun tuntutan kesejahteraan ini bukan berarti merengek mengemis, karena kesejahteraan yang dituntut berdasarkan undang-undang, yaitu menyatakan hakim adalah pejabat negara dengan segala implikasinya.
“Tuntutan kami bukan dalam konotasi menuntut kesejahteraan semata tapi mengembalikan hakim sebagai pejabat negara sesuai amanat UU,” kata salah seorang hakim Pengadilan Agama (PA) Kotabaru, Kalimantan Selatan (Kalsel), Achmad Fauzi, Selasa, (19/4/2011).
Lantas, Fauzi menceritakan bagaimana dia harus hidup berhimpit- himpitan dengan 3 orang hakim lainnya dalam satu rumah kontrakan. Tak hanya itu, gaji Rp 3,5 juta harus dibagi dua untuk biaya hidup dirinya dan istrinya yang tinggal beda kota.
Untuk biaya makan menggunakan sayur terong dengan lauk tahu tempe, sedikitnya Rp 17 ribu sekali makan. “Kalau mau makan pakai ikan atau telor dan minum kopi atau teh manis, sedikitnya Rp 30 ribu sekali makan,” terangnya.
Hitung- hitungan di atas tentu akan membengkak jika dikalikan 3 kali makan sehari dan selama satu bulan. Apalagi harus membiaya nafkah istri dan anak- anak yang bersekolah. Tak ayal, utang pun harus tempuh. Apabila hujan, siap- siap menggulung karpet karena kontrakan bocor di sana- sini. Remunerasi yang turun 3 bulan sekali digunakan untuk membayar utang.
“Dengan cara menulis di koran lokal atau koran nasional, itu salah satu cara menambah penghasilan yang halal untuk menyambung hidup. Saya sempat menangis sewaktu dapat honoriarium Rp 1,1 juta dari tulisan saya yang dimuat di koran nasional,” kisah Fauzi.
Lantas, bagaimana Fauzi melihat kenyataan ini? “Pengabaian hak- hak hakim merupakan wujud pelemahan penegakan hukum. Kami harus menjadi hakim disaat perut keroncongan,” tuturnya.
Atas masalah kesejahteraan hakim, Ketua Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Hatta Ali mengaku memberikan perhatian khusus. “Salah satu fungsi IKAHI adalah meningkatkan kesejahteraan hakim,” ujar Hatta Ali yang juga Hakim Muda Bidang Pengawasan MA, usai seminar Ultah ke 58 IKAHI akhir bulan lalu. |dtc|