Setiap insan di muka bumi ini mendamba hidup damai. Damai menjadi prasyarat merdekanya setiap insan dalam menjalankan kewajiban dan peroleh haknya. Damai di Ambon terkoyak kembali ketika warga kocar-kacir menyelamatkan diri masing-masing saat mendengar tembakan di udara Minggu siang (11/9) di jalan Sultan Baabullah, jalan AM Sangaji dan jalan Talake. Tiap kali mendengar letusan senapan, bayangan “kerusuhan” meledak menjadikan warga masyarakat trauma karena kejadian seperti ini menjadi sejarah kelam di bumi Ambon Manise.
Seperti dilansir oleh media massa, dalam kerusuhan Ambon yang terjadi bersamaan dengan peringatan 11 September (baca : tragedi WTC Amerika Serikat) diwarnai dengan aksi lempar batu, blokir jalan dan merusak atau membakar kendaraan.
Seperti penuturan warga Ambon yang melayangkan electronic mail (email) kepada penulis pukul 00.30 WIB (12/9), dalam kondisi panik dan trauma akan terjadinya kerusuhan, secara serentak masyarakat Ambon keluar rumah mendatangi pusat penjualan minyak tanah dan bahan-bahan kebutuhan pokok.
Kelangkaan sembako di tengah situasi yang mencekam pada tiap kerusuhan Ambon di masa lalu menimbulkan traumatik masyarakat. Pun demikian dengan para sopir angkot yang menghentikan beroperasi menjadi penghambat tersendiri bagi warga masyarakat dalam menjalankan aktivitas pasca kerusuhan.
Trauma Sosial
Meski pihak keamanan dan pemerintah daerah setempat kini menyatakan bahwa Ambon kembali aman, namun suasana mencekam itu masih terasa. Informasi yang benar terkait kerusuhan seharusnya sedini mungkin didapatkan aparat keamanan (dalam hal ini polisi memiliki perangkat intelijen keamanan yang harus difungsikan secara maksimal), sebelum kerusuhan melebar. Bukan sebaliknya ketika kerusuhan meledak, investigasi baru dilaksanakan dan diumumkan bahwa asal-muasal kerusuhan “murni” kecelakaan tunggal yang membuat tewasnya seorang tukang ojek.
Belajar dari tiap kerusuhan Ambon di masa lalu, masyarakat memiliki “stereotiping” terhadap masing-masing kelompok yang kemudian dikaitkan dengan perbedaan agama. Padahal jika ditelurusi secara historis kelompok-kelompok dalam masyarakat Ambon sendiri sebenarnya telah ada jauh sebelum Ambon diresmikan pada 7 Sepember 1575 (data www.ambon.go.id).
Pihak kolonial (Portugis) memiliki andil besar dalam pembentukan kelompok-kelompok yang mereka giring untuk menghuni Benteng Portugis di Pantai Honipopu atau disebut juga Benteng Kota Laha atau Ferangi. Kelompok masyarakat dalam benteng tersebut antara lain kelompok Soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Hative dan Urimessing.
Ambon memiliki sejarah panjang terkait dengan kerusuhan dan konflik sosial termasuk di antaranya isu pendirian Republik Maluku Selatan (RMS). Catatan Litbang Kementerian Agama (2005), terdapat lima aspek trauma sosial sebagai efek konflik Ambon antara lain; pertama, tercerabutnya struktur sosial. Masyarakat penganut dua agama yang berbeda yang awalnya tinggal bersama dalam satu perkampungan, pasca konflik menjadikan masyarakat terbelah (segregated society) sehingga sebagai contoh konflik telah membentuk kampung Islam dan kampung Kristen. Hubungan antar dua kampung tersebut saling menjaga, tidak saling mengunjungi bahkan cenderung saling mengancam jika melewati wilayah masing-masing.
Kedua, trauma komunikasi. Konflik menjadikan pupusnya komunikasi masing-masing pihak yang bertikai. Akibatnya masing-masing kelompok “terkesan” hanya mau bergaul dengan orang yang sependapat dengannya, sedangkan di luar itu “seakan” harus dicurigai.
Ketiga, hilangnya kepercayaan satu dengan lainnya yang berdampak terputar baliknya setiap informasi hanya untuk kepentingan masing-masing kelompok. Keempat, ekskalasi konflik. Seringkali konflik sosial menjadi berlarut-larut karena masuk dan ikut campurnya pihak luar yang merasa terpanggil oleh penderitaan saudara seiman.
Dan terakhir, keempat aspek di antara telah membentuk semacam trauma bagi masyarakat Ambon berkepanjangan. Pihak-pihak yang bertikai, khususnya para korban seperti orang tua, perempuan dan anak-anak akan sulit melupakan tiap rangkaian peristiwa yang pernah dialaminya. Kekerasan yang menjadi pemandangan mata di masa silam telah membentuk cara pandang, sikap dan perilaku warga masyarakat terhadap orang lain.
Ambon Damai
Di era ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian canggih seperti saat ini, faktor kerusuhan sosial tidak lagi tunggal (hanya satu variabel) seperti apa yang telah dirumuskan oleh penganut hukum nomotetik yakni variabel independen selalu mendahului variabel dependen. Banyak faktor sebagai penyebab konflik sosial. Faktor dominannya seringkali disebabkan tidak meratanya kesejahteraan sosial. Bahwa yang muncul kerap simbol agama dan ras, hal ini terkait dengan akses kesejahteraan sosial yang “terkesan” didominasi oleh salah satu ras seperti ras Cina dalam sasaran kerusuhan Mei 1998 silam.
Menyadari akan lima dampak konflik sosial tersebut di atas melahirkan komitmen hidup damai masyarakat Ambon yang terumuskan dalam perjanjian Malino 1 dan 2. Dibangunnya Monumen Gong Perdamaian di Kota Ambon juga menjadi simbol bahwa antar kelompok masyarakat di Ambon telah “insyaf” bahwa damai menjadi prasyarat utama dalam pembangunan kota tersebut.
Selain pembangunan situs perdamaian, pemerintah Kota Ambon bersama tokoh masyarakat juga kerap memfasilitasi dialog dan mediasi konflik komunitas secara berkelanjutan. Harapannya adalah Ambon di masa depan menjadi kota yang kondusif dan memberi kedamaian bagi warga masyarakatnya tanpa membedakan agama, ras dan suku.
Faktor kesenjangan ekonomi yang di masa silam menyebabkan benturan antar penganut agama dan ras yang berbeda juga menjadi perhatian pemerintah setempat. Hal ini bisa dilihat dari setiap upaya pembangunan sosial ekonomi yang kian pesat dan dinamis di Kota Ambon.
Kita patut mengapresiasi upaya pemerintah daerah setempat dalam memfasilitasi masing-masing warganya dalam perubahan pola pikir terhadap kehidupan yang menghargai perbedaan sebagai keniscayaan. Sembari masing-masing kita juga “harus” senantiasa menjaga kesadaran bahwa siapa pun mendamba hidup damai bukan? |dtc|
Susianah Affandy
Tim Fasilitasi Peacebuilding Panca Dian Kasih Foundation 2002-2003 dan Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi Pedesaan IPB