Eksekusi Ruyati yang Tragis dan Jalan ke Depan untuk Indonesia. Sungguh kita dikejutkan oleh hukuman pancung terhadap Ruyati binti Satubi yang dieksekusi di Arab Saudi pada hari Sabtu 18 Juni 2011. Dunia digemparkan oleh perlakuan sewenang-wenang kepada salah satu TKW Indonesia tersebut.
Dengan terungkapnya fakta dalam tragedi tersebut, maka terlihat betapa hubungan diplomatik konsuler diabaikan dalam peristiwa tersebut. Eksekusi Ruyati yang brutal dan yang tidak semestinya, memperlihatkan dengan jelas implikasi dan konsekuensi buruk dari penggunaan hukuman mati. Eksekusi terhadap Ruyati mengangkat kembali implikasi dari sebuah kebijakan yang tidak mengindahkan perikemanusiaan. Fakta yang muncul seputar eksekusi Ruyati memerlukan adanya suatu tanggapan yang berdasar dan terukur dari pemerintah.
Ketidakadilan seputar eksekusi Ruyati sangat mengejutkan. Ruyati adalah seorang pembantu rumah tangga yang miskin dan pekerja keras berumur 54 tahun yang bekerja di Arab Saudi demi mencari nafkah bagi keluarganya. Sebagai pekerja rumah tangga wanita di luar negeri, dia menjadi amat rentan. Fakta yang dilaporkan mengindikasikan bahwa dia telah membunuh istri dari majikannya di Arab Saudi dalam situasi untuk membela diri. Terdapat banyak laporan yang menyatakan bahwa Ruyati sering disiksa oleh majikannya. Kasusnya telah melewati Pengadilan dan Mahkamah Agung Arab Saudi. Sepertinya hukuman mati dibenarkan oleh qisas (prinsip ‘mata dibayar mata’; ‘utang nyawa dibayar nyawa’).
Putusan pengadilan Arab Saudi telah mengundang kritik tajam dari ahli hukum Indonesia. Putusan mereka menunjukkan bahwa qisas hanya berlaku bila tindakan pembunuhan disertai dengan adanya maksud untuk membunuh atau ‘maksud buruk’. Qisas tidak dapat diterapkan dalam hal pembelaan diri. Terdapat kritik keras terhadap putusan pengadilan Arab Saudi yang kurang lebih menyatakan bahwa pengadilan seharusnya mempertimbangkan motifnya sebagaimana yang diatur dalam hukum syariah.
Terlepas dari adanya masalah kesalahan dalam proses pengadilan dan hukum, keadaan seputar kasus Ruyati menghadirkan adanya kesempatan untuk memperoleh grasi bagi keluarga Ruyati yang tidak diberikan. Lebih buruknya lagi, diketahui kemudian bahwa baik keluarga Ruyati maupun pemerintah Indonesia tidak diberikan pemberitahuan konsuler sebelumnya. Akibat tragisnya adalah pihak keluarga tidak mendapatkan kesempatan untuk memohon grasi, dan pemerintah Indonesia tidak mendapatkan kesempatan untuk mendukung permohonan grasi tersebut atau melakukan pembelaan secara politik.
Betapa hebohnya peristiwa yang telah terjadi ditunjukkan dengan dipanggilnya Menteri Luar Negeri (Menlu) Marty Natalegawa oleh DPR pada hari Senin, 20 Juni 2011 untuk memberikan penjelasan tentang keadaan seputar kematian Ruyati. Menlu berkata: “Tetapi eksekusi tersebut dilakukan pada tanggal 18 Juni 2011, tanpa memberitahukan Pemerintah Indonesia”.
Menlu manambahkan bahwa terdapat warga negara lainnya yang juga dieksekusi tanpa pemberitahuan wajib sebelumnya kepada keluarga atau perwakilan negara mereka. “Sangat disesalkan bahwa Arab Saudi telah berulang kali mengabaikan kewajiban internasionalnya untuk menginformasikan negara-negara terkait mengenai permasalahan konsuler yang dihadapi warga negara mereka,” katanya.
Dengan lebih dari 900.000 warga negara Indonesia yang bekerja di Arab Saudi, ada banyak hal yang dipertaruhkan Indonesia di sana. Taruhannya semakin besar dengan adanya fakta bahwa lebih dari 26 warga negara Indonesia terancam hukuman mati di Arab Saudi dan lebih dari 216 warga negara Indonesia terancam hukuman mati di negara-negara lain.
Indonesia memiliki Deplu yang efisien dan profesional, temasuk salah satu yang terbaik di dunia. Jika pemberitahuan telah diberikan, pejabat Deplu dapat dan tentunya akan melakukan segala hal yang dapat mereka lakukan untuk melindungi warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati. Indonesia adalah negara dengan sistem demokrasi, sebagaimana Hakim Agung Felix Frankfurter dari Mahkamah Agung Amerika Serikat mengingatkan kita: “Dalam suatu demokrasi, dalam masyarakat kita, tanggung jawab jabatan yang paling penting adalah nasib warga negara”. Seorang warga Negara Indonesia telah dieksekusi secara brutal dan tidak semestinya terjadi. Secara faktual lebih banyak lagi warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di Arab Saudi.
Tragedi seputar eksekusi Ruyati dan tidak diberikannya hak diplomatik Indonesia untuk membelanya perlu ditanggapi secara tepat sasaran. Perlindungan warga negara Indonesia mengharuskan adanya suatu tanggapan yang penuh pertimbangan dan matang dari suatu negara demokrasi yang baru seperti Indonesia. Jika faktanya adalah sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Menlu kepada DPR, maka Indonesia dapat melakukan upaya hukum ke Mahkamah Internasional. Pengajuan proses hukum sangat masuk akal dan wajar dalam keadaan seperti ini.
Ada cukup banyak preseden hukum bahwa suatu negara harus menghormati kewajiban konsulernya bilamana ada warga negara asing yang menghadapi hukuman mati di dalam wilayah hukum mereka. Pada tahun 90-an, Jerman, Paraguay dan Meksiko mengajukan Amerika Serikat ke Mahkamah Internasional dan berhasil dalam proses hukum tersebut di mana Mahkamah menyatakan Amerika Serikat telah gagal untuk memberikan pemberitahuan yang memadai kepada para pengemban tugas diplomatik dari masing-masing negara tersebut mengenai adanya warga negara mereka yang sedang menghadapi hukuman mati di Amerika Serikat.
Dalam kasus Indonesia, fakta yang terungkap menunjukkan tidak ada pemberitahuan atau pun pemberitahuan konsuler yang memadai yang diberikan kepada keluarga atau Perwakilan Indonesia mengenai hukuman mati yang mengancam Ruyati, dan oleh karena itu Indonesia memiliki alasan yang kuat untuk membawa permasalahan dengan Arab Saudi ini di Mahkamah Internasional untuk menegakkan Vienna Convention on Consular Relations. Dengan mengambil langkah tersebut, Indonesia dapat secara sah menurut hukum, dengan rasa hormat namun tetap tegas, membuat pernyataan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki kepedulian yang amat sangat untuk melindungi warga negaranya di negeri asing.
Hebohnya peristiwa yang terjadi telah menyebabkan permasalahan lebih lanjut di luar upaya hukum ke Mahkamah Internasional. Di mata warga Indonesia citra dari Arab Saudi telah terpuruk. Eksekusi Ruyati sekali lagi memunculkan permasalahan mengenai negara-negara yang masih mempertahankan hukuman mati. Kecenderungan dunia sekarang ini jelas lebih mengarah kepada penghapusan hukuman mati.
Mayoritas negara-negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati dalam sistem hukum mereka. Majelis Umum PBB telah mengambil suara yang secara mayoritas mendukung moratorium (penghentian) terkait penggunaan hukuman mati pada tanggal 18 Desember 2010. Jika saja ada moratorium di seluruh dunia, maka Ruyati dan nyawa warga negara Indonesia lainnya yang sedang menghadapi hukuman mati di negara-negara asing dapat terselamatkan.
Pembenaran atas suatu hukuman pidana sebagai perlindungan terhadap masyarakat dapat dibenarkan. Namun, bagaimana eksekusi Ruyati dapat memberikan perlindungan lebih baik kepada masyarakat Arab Saudi? Apakah dunia akan menjadi lebih baik dengan adanya eksekusi Ruyati? Mengapa motif dan latar belakang peristiwa tidak dijadikan pertimbangan?
Di wilayah Asia Pasifik, negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, Timor Leste, Filipina dan Kamboja telah menghapuskan hukuman mati. Hukum pidana di negara-negara tersebut dapat melindungi masyarakatnya tanpa harus menggunakan hukuman mati. Statistik di Amerika menunjukkan bahwa hukuman mati tidaklah mengurangi tingkat kriminalitas. Negara-negara bagian di Amerika Serikat yang telah menghapuskan hukuman mati tidaklah memiliki rata-rata tingkat kejahatan yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara bagian yang masih mempertahankan hukuman mati.
Terlebih lagi ada serangkaian kasus di seluruh dunia di mana bukti-bukti menunjukkan bahwa orang yang tidak bersalah telah keliru dieksekusi berdasarkan bukti-bukti yang sebelumnya terlihat meyakinkan. Semua sistem hukum pernah mengalami kekeliruan dalam mengadili (miscarriages of justice) dan juga kekeliruan lainnya. Ketika hukuman mati akhirnya dilaksanakan, sudah sangat terlambat untuk mengajukan keberatan atas kekeliruan putusan tersebut, dan sudah sangat terlambat untuk memperbaiki kekeliruan yang ada karena terpidana telah dihukum mati.
Ketua Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, Ismail Mohamed, menyatakan dengan jelas implikasi sebenarnya dari hukuman mati dalam kasus State v Makwanyane 1995 (3) SA 371; 6 BCLR 665 pada paragraf 265. Beliau berkata:
“Hukuman mati melegalkan penghilangan nyawa dengan sengaja. Seperti yang saya katakan sebelumnya, ini adalah bentuk hukuman yang paling berat dan merupakan bentuk penghukuman paling ekstrem yang tidak terbanding… Ini adalah jalan terakhir, yang paling membinasakan dan paling tidak dapat diperbaiki dalam hukum pidana, yang melibatkan sebagaimana memang diperlukan demikian, penghilangan secara terencana dan terkalkulasi dari hidup itu sendiri; penghancuran anugerah terbesar dan paling berharga yang diberikan kepada setiap umat manusia.
Bukan hanya kehormatan orang yang akan dieksekusi yang dirusak. Dapat diperdebatkan bahwa kehormatan kita semua, dalam peradaban, menjadi dipermalukan, dengan tindakan mengulang, secara sistematis dan sengaja, walaupun untuk tujuan yang sangat berbeda, apa yang kita rasakan sebagai menjijikkan dari tindakan pelaku itu sendiri”
Di Indonesia, Hakim Mahkamah Konstitusi dalam kasus permohonan yang diajukan oleh Edith Yunita Sianturi dkk, termasuk warga negara Australia Scott Rush, juga mempersoalkan implikasi hukuman mati dalam pertimbangan putusan tertanggal 30 Oktober, 2007. Pada halaman 175 dari terjemahan resmi Bahasa Inggris dari putusan mayoritas, para hakim menyatakan:
“Hukuman mati memang mengerikan. Dalam hukuman mati, manusia bertindak seolah-olah mengambil peran sebagai Tuhan dengan menjadi penentu hidup atau mati seseorang.”
MK dalam kasus tersebut berkesimpulan dengan mayoritas 6 suara berbanding 3 suara mengenai keabsahan konstitusional dari ketentuan hukuman mati yang terkandung dalam UU Narkotika Indonesia tahun 1997. Dalam memberikan putusan, MK memberikan pernyataan dan rekomendasi penting yang menyatakan bahwa penggunaan hukuman mati sebagai bentuk hukuman yang ekstrem, yang merupakan upaya paling akhir dan haruslah dilaksanakan dengan selektif. MK meneliti pernyataan saksi ahli serta statistik yang diajukan dan kemudian sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada bukti meyakinkan yang menunjukkan bahwa penerapan hukuman mati akan mengurangi tingkat kejahatan lebih dibandingkan dengan penerapan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara dalam waktu yang lama.
Secara signifikan, MK merekomendasikan:
- pidana mati bukan lagi sebagai bentuk dari hukuman pokok, melainkan sebagai hukuman yang bersifat khusus dan alternatif;
- pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan baik dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun;
- pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak di bawah umur/ yang belum dewasa;
- eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang menderita sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang menderita sakit jiwa tersebut sembuh.”
Rekomendasi-rekomendasi dari MK tersebut telah disuarakan dan kemudian dihadapkan kepada perspektif yang menyedihkan dari peristiwa eksekusi Ruyati. Sekaranglah saatnya untuk menunjukkan kepemimpinan yang kuat dan tindakan untuk membela warga negara Indonesia di luar negeri. Pengajuan proses hukum di Mahkamah Internasional adalah awal yang masuk akal dan patut dipertimbangkan.
Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi termuda di dunia dan termasuk negara berkembang yang mempunyai perekonomian yang kuat. Indonesia juga merupakan pemimpin dari negara-negara kelompok ASEAN, posisi tersebut yang dapat digunakan untuk memberikan pengaruh dan kepemimpinan moral. Dalam menghadapi permasalahan hukuman mati ini, sudah saatnya bagi Indonesia mengambil sikap yang didasarkan atas kepentingan yang bermanfaat serta yang terbaik bagi warga negara Indonesia.
Mempertahankan hukuman mati dapat menjadi kontra produktif. Karena Indonesia masih mempertahankan hukuman mati, upaya Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk memberantas kejahatan dapat terhambat. Hal ini terbukti ketika Pemerintah Belanda menahan bukti yang dapat membantu Polri ketika menyelidiki kematian pembela hak asasi manusia, Munir. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya kekhawatiran dimana bantuan kepolisian Belanda tersebut nantinya akan menjadikan si pelaku terancam hukuman mati.
Jika tidak, tentu bantuan tersebut akan diberikan. Begitu juga sama halnya dengan Kepolisian Federal Australia yang juga dibatasi peraturan untuk tidak memberikan bantuan bilamana bantuan tersebut nantinya akan menyebabkan dijatuhkannya hukuman mati kepada terdakwa. Dalam penanganan tindak pidana terorisme dan tindak pidana terkait dengan obat-obatan terlarang yang merupakan tindak pidana lintas negara (transnational), Polri seharusnya dapat memperoleh segala macam bantuan yang ada dalam melakukan penyelidikan terkait dengan tindak pidana yang berpotensi membahayakan warga negara Indonesia.
Kemudian, patut dipertimbangkan juga mengenai kepentingan diplomatik dan ekonomi Indonesia dalam mempertahankan hukuman mati. Mayoritas negara-negara di dunia telah menghapuskan atau belum menghapus namun tidak juga menerapkan penggunaan hukuman mati tersebut. Hubungan-hubungan dengan negara-negara tetangga dimana hukuman mati telah dihapuskan dapat saja, walaupun seharusnya tidak perlu, menjadi terganggu ketika seorang warga negara dari negara yang telah menghapuskan hukuman mati tersebut ternyata dijatuhi hukuman mati di Indonesia. Dengan demikian terdapat alasan yang kuat bagi Indonesia, sebagai suatu negara beradab, untuk menghapuskan hukuman mati atau setidaknya menguji dimana kepentingan negara Indonesia dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya bilamana hukuman mati dipertahankan.
Salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan untuk mengujinya adalah dengan membuat moratorium atas penggunaan hukuman mati dan mengimplementasikan rekomendasi dari MK dalam peraturan perundang-undangan. Langkah ini akan menunjukkan adanya suatu komitmen tidak hanya kepada warga negara Indonesia tetapi juga untuk penghormatan atas nilai-nilai yang dianut oleh negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati, sekaligus mengimplementasikan yurisprudensi dari MK tersebut.
Langkah nyata lainnya dalam rangka membantu Polri dalam tugasnya melawan kejahatan serta dapat membebaskan Indonesia dari ketegangan diplomatik dengan negara lain, yang sebenarnya tidak perlu, adalah dengan penggunaan secara lebih fleksibel dan pragmatis atas kebijaksanaan dalam hal penuntutan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan grasi. Mengenai warga negara dari negara-negara yang telah menghapuskan hukuman mati yang ternyata diputuskan bersalah atas suatu tindak pidana yang berat, maka sebaiknya dan juga seharusnya terdapat suatu kebijakan sesuai dengan kepentingan Indonesia)untuk tidak menjatuhkan hukuman mati atau menguranginya menjadi hukuman seumur hidup atau menjadi hukuman penjara 20 tahun.
Jangan sampai kematian tragis Ruyati dan kesedihan keluarganya menjadi sia-sia. Diperlukan adanya tindakan dan kepemimpinan nasional yang kuat. Terlebih lagi, Indonesia yang menganut Pancasila sebagai dasar negara, dimana salah satu silanya adalah ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’, sehingga hukuman mati yang berdasarkan atas prinsip pembalasan tentu tidak diperlukan lagi. Sebagai bangsa beradab hukuman mati sepatutnya dihapuskan. Jika mengikuti prinsip ‘mata dibayar mata dan gigi dibayar gigi’, maka dunia ini akan menjadi dunia yang buta dan tidak berperikemanusiaan. |dtc|
*) Dr Frans H Winarta adalah advokat. Sedangkan Colin McDonald QC adalah advokat Australia, konsultan serta penasihat bagi Departemen Luar Negeri Indonesia dan warga Negara Indonesia di Australia selama lebih dari 20 tahun.