Masa depan demokrasi di Indonesia sedang berada dalam fase yang amat genting. Berbagai skandal dan permasalahan politik, mulai kasus Bank Century, masalah internal KPK, pengemplangan pajak baik oleh penguasa maupun pengusaha, hingga kekerasan yang mengatasnamakan agama atau kearifan lokal, seakan-akan menyiratkan masa depan yang suram bagi demokrasi di negeri zamrud khatulistiwa ini. Hal ini menyiratkan pertanyaan yang besar bagi kita semua, adakah masa depan demokrasi di Indonesia? Apa yang terjadi ketika sistem demokratik yang kita terapkan sekarang ternyata belum mampu membawa kesejahteraan dan keadilan?
Suramnya masa depan demokrasi di negeri ini semakin meneguhkan pandangan negative bahkan cenderung pejorative dunia Barat terhadap kompatabilitas islam dengan demokrasi. Dengan kata lain, negatifitas praksis berdemokrasi di Indonesia yang nota bene merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia semakin meneguhkan gambaran tentang absennya actor-aktor democrat di dunia islam. Dalam debat islam-demokrasi yang difasilitasi Journal of Democracy, wartawan kawakan Robin Wright berseloroh agak provokatif, “Can a Muslim be Democrat? Mampukah seorang muslim menjadi demokrat?” (M.A. Sirry, 2002 : 33-36)
Lantas, mengapa demokrasi sulit tumbuh dan terkonsolidasi di Negara-negara berpenduduk muslim? Menurut Azyumardi Azra (2002; 46-50), terdapat lima faktor penting yang menghambat pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi di dunia islam.
Pertama, kelemahan dalam infrastruktur dan prasyarat dalam pertumbuhan demokrasi. Sebagian besar Negara –yang berpenduduk mayoritas- muslim terbelakang secara ekonomi dan pendidikan. Sebagian di antaranya memang benar-benar miskin; juga terdapat Negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Tetapi, kelompok Negara muslim terakhir ini termasuk ke dalam kategori Weberian “soft states” dimana patrimonialisme (patron client), korupsi, kronisme dan nepotisme sangat merajalela sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi dan mendistorsi perkembangan sosial-budaya.
Sebagian lagi Negara-negara muslim itu merupakan “rentier state” di mana hasil kekayaan alam dimonopoli Negara untuk kemudian “dirente” Negara kepada rakyat sehingga membuat mereka tergantung pada penguasa. Akibatnya, tidak ada insentif bagi Negara untuk mendengarkan aspirasi rakyat dan sebaliknya tidak ada insentif bagi rakyat untuk menuntut partisipasi politik.
Kedua, masih kuatnya pandangan normative-teologis tentang kesatuan agama (dien) dan Negara (daulah). Dalam banyak segi, eksperimen dan gagasan ini tidak kompatibel dengan demokrasi. Yang terpenting dari inkompatabilitas itu adalah bahwa daulah islamiyah dan khilafah yang intinya merupakan vox dei vox populi (suara Tuhan suara rakyat), sementara pada Negara demokrasi kedaulatan berada pada rakyat (vox populi vox dei; suara rakyat suara Tuhan).
Ketiga, masih dominannya kultur politik tradisional yang berpusat pada kepemimpinan keagamaan kharismatis (kiai, ulama dan sebagainya) yang ditaklidi secara buta oleh sebagian umat Islam. Terdapat banyak ulama dan kiai yang ahli dalam fiqih siyasah mengambil alih begitu saja berbagai konsep politik Islam klasik seperti, jihad, ulil amri, bughat, jihad, bai’at dan sebagainya tanpa melihat relevansi dan kompatabilitasnya dengan konsep dan praktik politik modern untuk kepentingan politik dan status quo rezim penguasa tertentu yang jelas telah melestarikan budaya politik tradisional yang tidak sesuai dengan demokrasi.
Keempat, kegagalan Negara-negara muslim yang telah mengadopsi demokrasi untuk mempraktekkan demokrasi secara genuine dan otentik. Ini bisa dilihat dari seringnya digunakan pendekatan dan cara tidak demokratis dalam menyelesaikan berbagai masalah dan tantangan yang mereka hadapi. Bahkan tidak jarang mereka menggunakan tangan besi dan terorisme Negara (state terrorism) yang pada gilirannya mencipatakan lingkaran kekerasan yang tidak berujung.
Lebih celakanya lagi, banyak rezim seperti ini didukung Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya, sehingga akhirnya menghilangkan kepercayaan kepada demokrasi dan dengan demikian mengalienasikan para pendukung demokrasi di Negara muslim bersangkutan. Kelima, tidak berfungsinya civil society, apakah karena mereka telah dikooptasi Negara atau mengalami disfungsi dan disorientasi karena keterlibatan langsung maupun tidak langsung dalam politik praktis.
Kembali ke praksis kekinian demokrasi di Indonesia, demokrasi seakan-akan hanya dipahami sebagai prosedur elektoral saja. Akibatnya, demokrasi hanya diartikan sebagai cara untuk memperoleh legitimasi melalui proses pemilu. Padahal, demokrasi tidak sama dengan pemilu. Dalam suatu sistem politik yang demokratik, ada satu persyaratan lagi yang menjadi keniscayaan, yaitu semangat konstitusionalisme atau republikanisme.
Dalam konteks suatu republik konstitusional, nilai-nilai yang menjadi landasan utama adalah kebebasan dan keadilan. Prinsip-prinsip ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai konsepsi legal-politik seperti supremasi hukum, pengakuan terhadap hak asasi manusia, penghormatan terhadap kepemilikan pribadi, dan perlindungan minoritas. Demokrasi dan kebebasan konstitusional, adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Menerapkan demokrasi hanya dalam taraf pemilihan umum saja adalah reduksi dari arti demokrasi itu sendiri.
Gejala demokrasi tanpa nilai itulah yang sepertinya sedang menjalar di Indonesia. Berbagai permasalahan politik yang kita hadapi sesungguhnya adalah tantangan dan ujian bagi demokrasi itu sendiri. Dalam demokrasi yang minus nilai, kebebasan dan keadilan publik senantiasa terancam, dan proses politik menjadi tidak berbeda jauh dari sandiwara atau komedi.
Karena itu, tidak aneh apabila sekarang masyarakat dihadapkan pada berbagai fenomena sosial-politik yang unik, dari merebaknya fundamentalisme keagamaan hingga ulah para politikus di gedung parlemen yang mirip dagelan yang ironis karena justru terjadi di era demokrasi. Politik telah kehilangan maknanya, dari usaha kolektif individual tiap-tiap warga negara untuk mencapai tujuan yang lebih baik menjadi hajatan elektoral tahunan yang tanpa nilai dan sopan santun.
Bagi sebuah bangsa dengan umur demokrasi yang masih “seumur jagung” seperti Indonesia, kejadian ini bisa membawa sebuah krisis demokrasi. Rakyat yang senantiasa dihadapkan pada, dan “diikutsertakan” dalam, drama politik yang tanpa ujung, terutama melalui media, dapat menjadi apatis dan enggan untuk berpartisipasi dalam politik. Tentu saja apatisme ini tidaklah sehat bagi demokrasi, yang memerlukan partisipasi aktif dari warga negaranya.
Menyelamatkan Demokrasi
Menemukan jejak demokrasi dalam tradisi politik Indonesia bukanlah suatu hal yang jarang. Adalah Bung Hatta, salah satu dari dwitunggal proklamator kemerdekaan, yang menyadari bahwa demokrasi bukanlah suatu proses pemilihan dan pergantian semata, tapi juga memiliki esensi yang bahkan lebih dalam. Tugas bagi bangsa ini sekarang adalah mengedepankan nilai dan budaya yang menjadi prasyarat bagi tumbuh-kembangnya demokrasi di Indonesia. Kita memerlukan apresiasi terhadap nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan keterbukaan (Iqra Anugrah; 2010).
Bagi politikus dan pembuat kebijakan, nilai demokratik sepatutnya juga diterjemahkan dalam perilaku sehari-hari, baik di luar maupun di dalam parlemen. Sikap pemerintah akhir-akhir ini, baik lembaga eksekutif dan kepresidenan maupun parlemen, sayangnya tidak mencerminkan semangat tersebut.
Menanggapi dinamika politik di Indonesia, tugas bangsa ini ke depan adalah menjaga dan memperkuat demokrasi. Seperti kemerdekaan Indonesia, demokrasi adalah manifestasi dari kebebasan atau free will manusia. Dalam konteks kenegaraan, membela demokrasi adalah membela kebebasan dan hak-hak warga negara.
Demokrasi haruslah diperjuangkan. Dan untuk memperjuangkan demokrasi, dibutuhkan komitmen terhadap nilai-nilai demokratik sekaligus orang-orang yang bersedia memperjuangkan prinsip tersebut.
Demokrasi hanya akan berhasil jika ia ditopang oleh prinsip-prinsip konstitusionalisme republikan dan politikus-politikus demokratik. Demokrasi minus demokrat sejati, seperti yang kita miliki sekarang, hanya akan berujung pada mobokrasi dan lawakan politik yang terinstitusionalisasi. |dtc|
* Ahmad Arif adalah peminat kajian sosial keagamaan, alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta