Mahkamah Agung (MA) memerintahkan kampus IPB Bogor, BPOM dan Menkes mengumumkan nama merek susu formula berbakteri enterobacteri sakazakii. Namun, ketiganya memilih bungkam. Bahkan, 4 kampus ternama menggugat putusan yang dibuat oleh Ketua Majelis Hakim Harifin Tumpa.
Salah satu kampus yang menolak kasasi MA tersebut adalah Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat.
“Bahwa berdasarkan kode etik penelitian yang berlaku umum, seorang peneliti tidak dapat memublikasikan nama- nama dan jeniw produk yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian yang menggunakan metode sampel acak. Serta bukan merupakan pengujian produk tertentu,” kata kuasa hukum Ui, Soejono.
Pernyataan ini disampaikan dalam memori perlawanan setebal 7 halaman yang ditujukan ke PN Jakpus seperti di dapat detikcom, Kamis, (26/5/2011).
Menurut UI, alasan di atas untuk menjamin objektifitas hasil penelitian dan independensi peneliti. Selain itu, kerahasiaan sampel penelitian ini adalah tujuan langsung dari penelitian. “Karena apabila tidak dirahasiakan, tentunya dapat menimbulkan kerugian pihak lain,” terang Soejono.
Soejono menambahkan bahwa kegiatan penelitian ilmiah yang dilakukan oleh dosen terikat dengan etika penelitian dan kaidah ilmiah pada umumnya. Hal ini untuk menjaga objektifitas dan independensi terhadap penelitin yang dilakukan. “Oleh karena itu, kami memohon Ketua PN Jakarta Pusat menyatakan kasasi MA Nomor 2975 K/PDT/2009 tidak berkekuatan hukum tetap dan tidak dapat dilaksanakan,” kata Soejono.
Seperti diketahui, polemik ini bermula ketika ketika para peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan adanya kontaminasi Enterobacter Sakazakii sebesar 22,73 persen dari 22 sampel susu formula yang beredar tahun 2003 hingga 2006. Hasil riset itu dilansir Februari 2008. Namun, IPB tidak bersedia menyebutkan merek susu yang dimaksud. Oleh MA, IPB diperintahkan untuk membuka nama merek susu tersebut.
Atas putusan ini, kampus Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas, Universitas Hasanudin dan Universitas Indonesia menggugat dan memohon hakim supaya putusan tidak bisa dieksekusi. Atas gugatan 4 perguruan tinggi ini, Guru Besar UI, Jimly Assidiqqie menyayangkan. “Memalukan, harusnya intelektual itu taat hukum,” kata Jilmy beberapa waktu lalu. |dtc|