Dalam RUU Intelijen, pemerintah mengusulkan agar BIN diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan. Usulan inipun langsung dikritisi oleh beberapa kalangan.
Menurut Direktur Eksekutif Defense Security and Peace Studies (IDSPS), Mufti Makaarim, intelijen negara seharusnya tidak hanya mengandalkan penyadapan untuk mendapatkan informasi.
“BIN seharusnya bisa menggunakan kemampuan-kemampuannya yang dalam hal intelijen. Tidak melulu harus dengan penyadapan,” terang Makaarim.
Hal ini ia sampaikan kepada wartawan sebelum rapat dengar pendapat antara Komisi I DPR dengan IDSPS terkait industri strategis pertahanan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta (23/3/2011).
Menurut Makaarim, penyadapan yang dilakukan BIN diperbolehkan setelah adanya indikasi atau bukti awal adanya pelanggaran yang dilakukan. Itupun harus memperoleh penetapan dari lembaga tertentu seperti pengadilan.
“Jadi setelah ada indikasi awal yang kuat, baru minta penetapan untuk menyadap, ini bisa ke pengadilan atau lembaga lain yang ditunjuk. Kalau di Amerika Serikat, CIA minta penetapan di Mahkamah Agung,” terangnya.
Menurut Makaarim, di negara-negara yang memiliki agen intelijen kuat, cara mengorek informasi kepada seseorang dilakukan dengan cara yang lebih lembut. Tidak menggunakan cara kekerasan seperti halnya intrograsi.
“Mereka tidak lagi menggunakan cara konvensional, cara ditenggelamkan ke kolam biar ngaku. Mereka menggunakan cara yang lebih soft. Diajak makan, dilobi, dicarikan wanita. Tapi informasinya tetap dapat,” ujarnya. Source : |dtc|