
Di tengah menjamurnya berbagai lembaga keagamaan di ibukota, ternyata belum mampu menghilangkan tawuran antar warga. Seharusnya agama bisa menjadi alat pemersatu, pembimbing moral serta tata cara hidup manusia. Demikian hal itu dikatakan anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta Lucky P Sastrawiria.
Menurutnya, pembangunan berbasis agama yang terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lain, diharapkan dapat mendukung terwujudnya masyarakat sadar hukum dan lingkungan, menguasai ilmu dan teknologi, beretos kerja tinggi serta berdisiplin.
“Konflik yang terjadi akhir-akhir ini jangan sampai jadi alat mempercepat meletusnya konflik lebih luas,” katanya, saat Penyampaian Informasi Mengenai Kiprah dan Kinerja Dewan dengan tema Kerukunan Beragama dalam Kehidupan Bermasyarakat di Aula Gedung KONI DKI Jakarta, kemarin.
Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Paulus Wirutomo menjelaskan, timbulnya konflik sangat kompleks. Saking kompleksnya, dari beberapa orang yang terlibat konflik atau tawuran, tidak tahu apa yang membuat mereka ikut-ikutan tawuran.
Paulus menjelaskan, tawuran yang terjadi di sejumlah wilayah di Jakarta seperti halnya di Johar Baru, Jakarta Pusat, lebih merupakan penyakit sosial ketimbang kriminalitas. Penyebabnya, bisa karena banyak hal.
Salah satunya, karena kurang tersedianya fasilitas sosial atau umum. Padahal, fasilitas umum ini sangat penting sebagai sarana penyaluran kegiatan warga yang kebanyakan berusia remaja.
Sosiolog UI lainnya Imam B Prasodjo mengingatkan pentingnya melibatkan masyarakat dalam proses penyelesaian tawuran warga. “Tempat koordinasi secara informal yang berfungsi sebagai pusat-pusat aktivitas kegiatan komunitas yang berkonflik harus diperbanyak,” saran Imam.
Imam menyatakan, membentuk jejaring pada masing-masing wilayah dan antarwilayah untuk penanganan dan mediasi konflik juga sangat penting.
Harian Rakyat Merdeka