Akibat disahkannya sebuah Undang-undang sementara atas kejahatan cyber di negara Yordania, pada Selasa (3/8) lalu, akhinya pemerintah Yordania mendapatkan reaksi dan kecaman keras dari para jurnalis dari negara tersebut. Menurut para jurnalis Yordania, UU itu dinilai sebagai cara pemerintah Yordania untuk mengontrol situs-situs berita lokal.
Seperti diberitakan media sebelumnya, akhir bulan lalu, pemerintah Yordania juga melarang pegawai negeri sipil mengakses sekitar 50 situs di tempat kerja, yang sebagian besar berita lokal, dengan alasan untuk meningkatkan produktivitas kerja.
Para jurnalis mengatakan undang-undang baru memungkinkan pihak yang berwenang untuk menyerang dan mencari kantor dari situs web yang diterbitkan dan mengakses ke komputer mereka tanpa persetujuan dari jaksa penuntut umum.
“Hukum itu ditulis dengan cara yang elastis sehingga pemerintah bisa menafsirkan dan menerapkannya dengan cara yang diinginkannya dan sesuai dengan kepentingan mereka,” kata Mohammad Hawamdeh, redaktur pelaksana kantor berita online Khaberni, kepada AFP.
“Sebagai contoh, jika saya ingin menerbitkan artikel tentang masalah sosial, ekonomi atau politik apapun, di bawah undang-undang baru ini saya bisa dituduh merugikan kepentingan Yordania dan ekonomi,” lanjutnya.
Seperti jurnalis pada umumnya, Hawamdeh percaya bahwa tujuan dari undang-undang itu sebenarnya adalah untuk menindak keras situs berita lokal.
“Faktanya bahwa pelarangan internet dan hukum tersebut yang muncul hampir bersamaan memang sangat mencurigakan. Mengapa fokus larangan tersebut berpusat di situs berita lokal? Ini jelas pemerintah menargetkan kita dan ingin kita tutup mulut,” katanya.
Namun di lain pihak, pemerintahan Yordania menyangkal, dan mengatakan bahwa
“Hukum diterbitkan untuk mengatasi perkembangan teknologi informasi seperti halnya masalah-masalah hukum yang terkait dan kejahatan cyber. Hukum tidak menjahati orang untuk mengekspresikan pendapat mereka,” kata Menteri Informasi Ali Ayed kepada AFP.
Selain itu, ia juga mengatakan, bahwa UU tersebut untuk mempertahankan larangan internet bagi pegawai negeri sipil dan mengatakan bahwa jam kerja harus selayaknya digunakan untuk untuk bekerja.
“Kami menghormati situs web profesional. Kami tidak menargetkan siapapun, sebagai contoh kami memblokir situs kantor berita Petra, meskipun itu dijalankan oleh negara. Kami tidak memblokir situs-situs seperti Google dan Yahoo!” lanjutnya.
Sebuah studi oleh pemerintah Yordania menunjukkan bahwa pekerja umum yang berselancar di internet selama satu jam sehari menghabiskan biaya negara sebesar 70.000.000 dinar (100.000.000 dolar Amerika) dalam setahun.
Sementara itu, organisasi HAM lokal dan internasional mengkritik undang-undang baru itersebut.
Seperti Komite untuk Melindungi Jurnalis (CPJ) yang berbasis di New York mendesak Raja Abdullah II untuk memveto hukum tersebut, CPJ menyebutkan bahwa hukum itu memberikan otoritas dengan kekuasaan penuh guna membatasi arus informasi dan debat publik.
Tidak hanya itu, komite itu juga mengatakan hukum tersebut tidak hanya mengarahkan pada kejahatan elektronik saja, tapi juga mencakup ketentuan penulisan secara luas yang dapat menghambat ekspresi online dan membatasi kemampuan jurnalis untuk melaporkan berita.
Hukum tersebut juga melarang pengiriman atau posting data atau informasi melalui internet atau sistem informasi lainnya yang melibatkan pencemaran nama baik, penghinaan atau fitnah. Tapi CPJ mengatakan hukum tersebut tidak mendefinisikan kejahatan seperti itu.
Selain itu, Samir Hayari, asisten penerbit dari kantor berita Ammon, dan situs web berita populer lokal lainnya, mengatakan hukum baru itu ibarat mengukur seorang jurnalis yang berada di bawah hukum darurat militer.
“Larangan dan hukum baru merupakan suatu langkah mundur,” kata Hayari.
“Tidak ada yang bisa mencegah kita melakukan pekerjaan,” lanjutnya.
Sementara itu, Pengacara Saleh Armuti, mantan presiden Asosiasi Pengacara Yordania, mengatakan kepada AFP bahwa hukum tersebut tidak konstitusional karena mempengaruhi kebebasan berekspresi, dan konstitusi sangat jelas menjaga kebebasan berekspresi.
“Hal lain yang berbahaya adalah hukum itu bersifat sementara, dan konstitusi mengatakan pemerintah dapat menerbitkan peraturan sementara hanya pada hal-hal yang mendesak yang tidak ada di parlemen. Apa urgensinya sekarang untuk masalah hukum kejahatan cyber?” kata Armuti.
Dari kejadian ini, tak heran beberapa penerbit situs-situs berita lokal di sebuah konferensi pers, kemudian menuduh Perdana Menteri Samir Rifai sebagai musuh pers.
“Menurut pendapat saya, pemerintah melakukan semua itu untuk melemahkan situs web berita karena mereka menerbitkan laporan pada titik politik, sosial dan masalah keamanan – yang pemerintah tidak suka,” kata Mohammad Momani, seorang profesor ilmu politik di Universitas Negeri Yarmuk.
“Mencegah karyawan berselancar web tidak akan meningkatkan produktivitas, sehingga lebih baik memberikan mereka akses ke internet dan memiliki karyawan yang berpendidikan,” tambah Momani, yang juga menulis untuk harian independen Arab Al-Ghad.
Sementara itu, beberapa pegawai pemerintah ada yang setuju dengan hal itu.
“Meningkatkan pekerjaan kita tidak akan tercapai dengan mengendalikan pikiran kita. Mereka yang ingin buang waktu selalu dapat menemukan cara untuk membuangnya, dengan atau tanpa internet,” kata seorang pejabat kementerian yang tidak ingin disebut namanya.
“Saya tidak mengerti bagaimana pemerintah dapat membuat undang-undang seperti itu dan datang dengan larangan seperti itu ketika beberapa anggotanya ada di Facebook dan Twitter, dan mereka membual tentang hal itu,” katanya. (my love)