
Oleh : James P. Pardede
Setiap manusia dimuka bumi ini, pasti menghindari yang namanya jatuh sakit apalagi sampai opname berhari-hari di rumah sakit. Karena, ketika kita terbaring lemah dan terkena sakit ibarat jatuh tertimpa tangga. Selain harus menderita sakit, kita juga harus menanggung biaya pengobatan dan membeli obat yang harganya seringkali tidak terjangkau. Tak jarang, masyarakat yang tadinya mampu secara finansial jatuh miskin lantaran sakit yang dideritanya membutuhkan biaya obat tinggi, apakali proses pengobatannya memakan waktu yang sangat lama.
Dalam sebuah kesempatan, penulis pernah menemani Paman untuk berobat ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata Paman harus dirawat inap di rumah sakit. Penulis memperhatikan beberapa obat yang diresep oleh dokter. Karena Paman PNS dan menggunakan kartu Askes, dokter bertanya kepada Paman apakah mau dikasih obat generik atau obat paten. Kalau obat generik, biayanya ditanggung oleh Askes, tapi kalau mau pilih obat paten harganya sedikit lebih mahal dan tidak ditanggung oleh Askes.
Waktu itu, penulis memberanikan diri untuk bertanya kepada dokter apa perbedaan obat paten dengan obat generik. Karena setahu saya, fungsi dan khasiatnya pasti sama. Jawaban sang dokter, yang membedakannya adalah merk dan harganya sedikit lebih mahal. Dengan harga yang sedikit lebih mahal itu, obat paten menurut dokter lebih cepat reaksinya. Penulis sempat bingung juga saat dokter akhirnya menuliskan resep obat buat Paman adalah Obat Generik Berlogo (OGB).
Saat mengambil obat di apotek, penulis mendengar seorang ibu meminta tolong kepada apoteker untuk menaksir dulu berapa harga obat yang ada di dalam resep dokter yang dibawanya. Setelah menunggu beberapa saat, apoteker memberitahu kalau harga obatnya mencapai Rp. 500 ribu. Lalu ibu tadi meminta tolong apakah resepnya bisa diambil setengah dulu, karena persediaan uang yang dibawanya tidak mencukupi untuk membayar obat secara penuh.
Setelah ibu tadi mengambil obatnya, penulis menghampiri dan bertanya. Ternyata obat yang dipegangnya adalah obat paten. Penulis menyarankan ibu tadi agar meminta tolong kepada dokter untuk memberikan resep obat generik saja. Akan tetapi, si ibu tadi langsung berkata bahwa obat yang dipegangnya adalah obat paten dan paling bagus menurut dokter.
Ini adalah salah satu pertanda bahwa edukasi dan sosialisasi tentang Obat Generik Berlogo masih belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Sebagian besar masyarakat kita masih buta dengan OGB, sehingga apa yang diresepkan oleh dokter, mereka percaya saja dan tidak pernah mau bertanya. Saat menebus obat ke apotek, masyarakat kita baru sadar kalau harganya sangat mahal.
Karena tingginya biaya obat menjadi permasalahan di semua negara di dunia. Hampir semua negara memberlakukan kebijakan penggunaan obat generik untuk menekan biaya obat, termasuk di Indonesia. Itu sebabnya, sejak 1989, pemerintah telah menggulirkan kebijakan Obat Generik Berlogo agar masyarakat mendapatkan obat yang bermutu, aman, dan efektif dengan harga yang terjangkau dan tercukupi jenis maupun jumlahnya.
Dinamakan Obat Generik Berlogo atau OGB karena obat ini berciri logo lingkaran hijau bergaris putih dengan tulisan “GENERIK” di bagian tengahnya. Obat ini diproduksi beberapa pabrik berbeda, terutama BUMN. Namun, namanya tetap sama, yaitu sesuai dengan nama kandungan zat aktif yang berkhasiat obat.
Perlu diketahui, bahwa obat generik ialah obat yang telah habis masa patennya. Obat yang masih berada dalam masa paten disebut obat paten atau obat originator. Obat paten hanya diproduksi oleh pabrik yang memiliki hak paten. Umumnya dijual dengan harga yang sangat tinggi, karena tidak ada kompetisi. Hal ini biasanya untuk menutupi biaya penelitian dan pengembangan obat tersebut, serta biaya promosi yang tidak sedikit.
Setelah habis masa patennya, obat tersebut dapat diproduksi semua industri farmasi. Setiap pabrik memberi nama sendiri sebagai merek dagang. Obat ini di Indonesia dikenal dengan nama obat generik bermerek atau branded generik.
Sampai saat ini, masyarakat masih sering keliru menyebut obat generik bermerek sebagai obat paten. Padahal, jenis obat paten yang beredar kurang dari 10 persen. Selebihnya merupakan obat generik, baik dengan merek dagang maupun dengan nama kandungan zat aktifnya (lebih sering disebut sebagai obat generik saja).
Pada prinsipnya, tidak ada perbedaan dalam hal mutu, khasiat, dan keamanan antara obat generik dengan obat bermerek, maupun obat paten dengan kandungan zat aktif yang sama. Pasalnya, produksi obat generik juga menerapkan cara produksi obat yang baik, seperti halnya obat bermerek maupun obat paten. Selain itu, untuk zat aktif tertentu, pemerintah mempersyaratkan uji bioavailabilitas dan bioekuivalensi obat generik untuk menyetarakan khasiatnya dengan obat originatornya.
Obat generik harganya jauh lebih murah dari originatornya karena tidak ada biaya penelitian dan pengembangan, studi-studi klinis maupun promosi yang menyebabkan harga obat paten sangat tinggi. Masyarakat maupun tenaga kesehatan tidak perlu meragukan mutu obat generik, karena harganya yang murah. Anggapan bahwa obat generik adalah obat orang miskin tidaklah benar.
Harga sebagian obat generik belakangan memang mengalami sedikit kenaikan. Namun, harganya masih tetap jauh lebih rendah dibandingkan harga obat generik bermerek maupun paten dengan kandungan zat aktif yang sama, sehingga obat generik merupakan pilihan terbaik untuk mendapatkan obat yang efektif dengan harga yang sesuai.
Pentingnya edukasi dan sosialisasi tentang Obat Generik Berlogo ini kepada semua lapisan masyarakat adalah agar masyarakat tidak lagi menganggap obat generik sebagai obat kelas dua dan cenderung meragukan kualitasnya. Masyarakat atau pasien cenderung tidak bertanya mengenai obat yang diresepkan, di samping kurangnya informasi dari tenaga kesehatan baik dokter penulis resep maupun tenaga kefarmasian di apotek.
Padahal, jika masyarakat mengenal dengan baik mengenai manfaat dan kelebihan obat generik, maka masyarakat sendiri yang diuntungkan karena memperoleh obat bermutu dengan harga terjangkau.
Untuk itu, baik dokter maupun tenaga kefarmasian hendaknya melakukan edukasi dan memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat. Sehingga masyarakat sebagai penerima manfaat dapat menyejahterakan dirinya dan memperoleh kesehatan yang berkualitas namun terjangkau.
Direktur Jenderal Bina Farmasi Dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Maura Linda Sitanggang dalam sebuah kesempatan menegaskan bahwa OGB dan obat generik bermerek sudah ada sejak penerbitan SK Menteri Kesehatan RI nomor 085/Menkes/1989, terkait peredaran obat generik.
OGB dalam SK tersebut disebut obat generik International Non-Priority Name (INN). Yaitu obat generik yang tak perlu diberi merek atau nama tertentu. OGB atau bermerek sepenuhnya merupakan hak masyarakat.
Demikian juga Ketua Gabungan Pengusaha Farmasi (GP-Farmasi), Johannes Satijono, menurutnya obat generik bermerek bukanlah upaya pembodohan pada masyarakat. Adanya obat generik bermerek justru memperluas alternatif pilihan masyarakat pada pengobatan, kendati kualitas keduanya sama.
“Adanya merek mempermudah pengenalan masyarakat pada obat generik. Dulu obat generik dibuat perusahaan kecil dan tidak memiliki merek, akibatnya masyarakat menjadi ragu pada kualitas yang diberikan. Dengan diberi merek masyarakat menjadi lebih yakin dan mau menggunakan obat generik,” tutur Johannes.
Obat generik merupakan salah satu tumpuan utama dalam sarana pelayanan masyarakat. Obat generik memiliki kualitas yang teruji dengan harga terjangkau sehingga menjamin mutu pengobatan yang diterima masyarakat tanpa memandang status ekonomi. OGB adalah pilihan, sama halnya dengan gaya hidup sehat. Semua orang pasti menghindari yang namanya sakit, karena sehat itu juga pilihan.
- Penulis adalah Kontributor SWATT Online di Medan, Sumatera Utara