
Pada masa lalu, ahli-ahli kimia harus menggunakan bola dan tangkai plastik untuk membuat model dari molekul. Padahal, reaksi kimia hadir di banyak tempat, pada kecepatan cahaya, dalam lompatan elektron dari satu inti atom ke yang lainnya, dan masih banyak lagi.
Sontak dipastikan kimia klasik kala itu kesulitan untuk mengatasi ketertinggalan. Sangat sulit untuk secara eksperimental memetakan setiap tahap kecil dalam proses kimia.
Peneliti tidak putus asa dan terus mencari akal dengan bantuan ilmu fisika klasik. Kelemahannya, fisika klasik tidak menawarkan cara menyimulasikan reaksi kimia. Karena itu, pakar kimia kemudian harus menggunakan kuantum fisika yang membutuhkan banyak komputerisasi dalam proses kalkulasinya dan hanya bisa dilakukan untuk molekul kecil.
Namun, masa-masa yang membuat frustrasi para pakar kimia itu berakhir berkat Martin Karplus (Austria) dari Universite de Strasbourg, Prancis, dan Harvard University, Cambridge, AS; Michael Levitt (Afsel) dari Stanford University School of Medicine, Stanford, AS; dan Arieh Warshel (Israel) dari University of Southern California, Los Angeles, AS.
Ketiga penggagas itu meletakkan fondasi bagi terciptanya programprogram mutakhir yang bisa dimanfaatkan untuk memahami dan memprediksi proses kimia. Metode yang mereka tawarkan memungkinkan peneliti mengungkap proses-proses kimia dengan bantuan komputer. Jadi, tidak lagi menggunakan bola dan tangkai plastik.
Berkat jasa mereka, kemarin, Karplus, Levitt, dan Warshel dianugerahi Hadiah Nobel untuk Kimia 2013 dari Royal Swedish Academy of Sciences. Mereka berjasa dengan pengembangan modelmodel multiskala untuk sistem kimia yang kompleks.
Sehari sebelumnya (8/10), Fran çois Englert dari Belgia dan Peter W Higgs (Inggris) mendapat Hadiah Nobel untuk Fisika berkat teori tentang bagaimana materi di alam semesta bisa memiliki massa.
Menurut mereka, hal itu bisa terjadi karena adanya partikel yang memberikannya. Teori itu dikenal sebagai `partikel Tuhan’. (sol/mi)