Presiden Mesir, Hosni Mubarak (82) langsung mengadakan pertemuan dengan menteri pertahanan, Mohamed Hussein Tantawi serta kepala militer, Sami Al-Anan, Komando Militer Senior dan Omar Suleiman, mantan kepala intelijen guna membahas tindakan yang mesti diambil menanggapi situasi keamanan yang kian memburuk.
Sementara itu ribuan pengunjuk rasa terus berkumpul dan memadati berbagai kota di Mesir dan selama enam hari berturut-turut berkumpul di Kairo Tahrir Square, mereka menuntut presiden Hosni Mubarak mundur dari jabatannya serta menghapuskan angka kemiskinan yang kian meluas, korupsi yang merajalela serta pelanggarab HAM oleh pemerintah yang berkuasa selama tiga dekade terakhir.
Sedikitnya 100 orang telah tewas dan lebih dari 1.000 cedera sejak aksi protes dimulai di Kairo dan dengan cepat menyebar ke kota-kota Mesir lainnya.
Sebagian besar Bank, pertokoan dan sekolah di tutup untuk menghidari amuk massa yang sebagian melakukan aksi penjarahan, pasukan keamanan terus mengendalikan kekacauan akibat kekerasan dan penjarahan yang meletus di berbagai pelosok Mesir.
Beberapa pesawat tempur terbang rendah di atas udara kota Kairo, hal ini dilakukan untuk menakut-nakuti para demonstran yang membanjiri kota-kota di Mesir.
Dunia Barat menikmati status quo di negara-negara yang dipimpin diktator selama kepentingan mereka dilayani dan diuntungkan. Pelanggaran hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi yang selalu mereka tentang dibiarkan terjadi di negara-negara itu.
Di permukaan, negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, terus menyerukan penegakan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan demokrasi. Namun, saat kesadaran akan hak-hak tersebut benar-benar bergaung di negara sestrategis Mesir, AS dan sekutunya dihadapkan pada dilema.
AS harus membuat pilihan sulit, mendukung perjuangan demokrasi demonstran atau membela sekutu kuncinya selama 30 tahun. Beberapa hari terakhir, Presiden AS Barack Obama telah mengeluarkan pernyataan keras yang mendesak Mubarak segera melakukan reformasi politik dan ekonomi serta menghentikan kekerasan terhadap demonstran.
Namun, AS juga terlihat hati-hati menentukan sikap terhadap Mubarak. Sebab, setiap indikasi meninggalkan Mubarak akan menimbulkan risiko yang tidak kecil bagi AS dan sekutu-sekutunya di Eropa.
Mesir adalah sekutu AS paling penting di Timur Tengah. Di bawah Presiden Anwar Sadat, Mesir adalah negara Arab pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979 di Camp David, AS.
Bagi Israel, perjanjian damai dengan Mesir itu sangat besar artinya. Di satu sisi Israel tak perlu lagi risau akan risiko perang dengan Mesir, seperti pada 1948, 1956, 1967, dan 1973.
Di sisi lain, Mesir juga menjadi satu-satunya jembatan bagi Israel untuk berdialog dengan dunia Arab dan berperan besar dalam membatasi ruang gerak kelompok garis keras Hamas di Jalur Gaza.
Itu sebabnya, dalam pernyataan publik pertama sejak krisis Mesir pekan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, menekankan pentingnya menjaga perdamaian dengan Mesir dan bagaimana mengembalikan stabilitas dan keamanan di kawasan itu.
”Mimpi terburuk geopolitik bagi Israel adalah ada negara Arab berpenduduk terbesar dalam kondisi instabilitas politik berada tepat di depan pintu. Ini mengubah seluruh perimbangan kekuatan di Timur Tengah,” tuturnya.
Kemungkinan lengsernya Mubarak juga membuka peluang bangkitnya kelompok anti-Israel, seperti Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood). Lembaga pengamat intelijen Stratfor Global Intelligence bahkan mengeluarkan Tanda Bahaya Merah, Sabtu, untuk mengingatkan saat ini banyak anggota Hamas (salah satu cabang Ikhwanul Muslimin) masuk ke Mesir dari Gaza untuk memperkuat demonstrasi anti-Mubarak.
Kemungkinan Mesir dikuasai rezim anti-Barat juga membuka risiko lebih mengerikan, yakni ditutupnya Terusan Suez, urat nadi perekonomian dunia yang menghubungkan Eropa-Asia.
Menlu Inggris William Hague mengatakan, siapa yang akan memerintah Mesir tak ditentukan oleh masyarakat di luar Mesir. Namun, ia menegaskan, ”Tentu saja kami tak ingin ada pemerintahan yang berbasis pada Muslim Brotherhood.”
Namun, membela mati-matian Mubarak untuk bertahan pun berisiko besar. Selain membuktikan kemunafikan retorika Barat tentang HAM dan demokrasi, mereka juga akan ditentang Mesir dan dunia Arab.
”AS dan Eropa hanya bisa menunggu perkembangan situasi dan berusaha untuk tak terlalu memusuhi siapa pun yang akan keluar sebagai pemenang (di Mesir),” ungkap Nigel Inkster, mantan Wakil Kepala Dinas Intelijen MI6 Inggris, yang menjadi pengamat di International Institute for Strategic Studies, London.
Dengan demonstrasi menuntut mundurnya penguasa juga terjadi di Yaman dan Jordania, terancamnya posisi Presiden Palestina Mahmoud Abbas pasca-kebocoran Dokumen Palestina di Al-Jazeera, terbentuknya pemerintahan baru yang diduga pro-Hezbollah di Lebanon, dan kebuntuan perundingan soal nuklir dengan Iran, kiranya status quo sudah berakhir di Timur Tengah.
foto : life.com