Kuasa hukum mantan Dirut Merpati Hotasi Nababan, memprotes penetapan tersangka kliennya. Namun Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto menyebut penyidik Kejaksaan memiliki cukup bukti bahwa kasus ini merupakan pidana dan terdapat keterlibatan eks Direksi Merpati di dalamnya. “Itu kan pandangan mereka. Pandangan penyidik kan lain. Yang jelas sudah ditemukan minimal dua alat bukti, sehingga penyidik menetapkan mereka sebagai tersangka,” ujarnya kepada wartawan, Jumat (19/8/2011).
Pihak penasihat hukum salah satu tersangka kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat Boeing 737 oleh PT Merpati Nusantara Airlines menyatakan keberatan atas penetapan tersangka kliennya. Kejaksaan Agung (Kejagung) justru dinilai memaksakan diri dengan mempidanakan kasus perdata. “Kejagung terlalu memaksakan diri untuk mempidanakan kasus perdata, sebab itu murni perdata,” ujar penasihat hukum eks Dirut Merpati Hotasi Nababan, Lawrens TP Siburian saat dihubungi wartawan, Jumat (19/8).
Lawrens menegaskan, kasus penyewaan pesawat ini seharusnya masuk ranah perdata. Sebab, yang terjadi adalah wanprestasi dalam penyewaan dua pesawat tipe Boeing 737-400 dan 737-500 oleh perusahaan TALG USA, bukannya kerugian negara. “Kalau dibilang ada kerugian negara, dimana kerugian negaranya. Itu kan belum kerugian negara, karena itu kan leasing, sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500.
Itu dari masing-masingnya Merpati harus menaruh security deposit sebesar US$ 500 ribu dan perjanjiannya itu security deposit, bukan uang muka, artinya itu harus dikembalikan setelah masa akhir penyewaan, berbeda dengan uang cicilan atau uang muka. Jadi perjanjian itu, kalau pesawat tidak ada, uang ini harus dikembalikan. Nah ternyata, dia itu, TALG wanprestasi. Pesawatnya tidak ada, tapi uangnya tidak dikembalikan sama dia,” jelasnya.
Menurut Lawrens, terkait wanprestasi ini, pihak Merpati telah mengajukan gugatan di pengadilan Washington DC, Amerika Serikat. Dan saat itu pengadilan memutus bahwa pihak TALG telah melakukan wanprestasi dan diwajibkan mengembalikan uang security deposit Merpati sebesar US$ 1 juta beserta bunga-bunganya. Namun, pihak TALG baru membayar sekali dengan jumlah hanya US$ 4.793 saja.
Namun, lanjut Lawrens, dalam perkembangannya pengejaran pembayaran wanprestasi pihak TALG tersebut dihentikan. Sebabnya, pihak Direksi Merpati yang baru memutuskan mencabut kuasa untuk menagih pembayaran tersebut kepada pihak TALG. “Kalau dicabut, berati kita tidak bisa kejar eksekusi lagi dong. Alasan dicabutnya karena biaya pengacaranya terlalu tinggi, biaya pengacara di AS itu per jam,” ucapnya.
Melihat semua rangkaian ini, Lawrens menegaskan, bahwa kasus ini murni perdata. Terutama sudah terjadi pembayaran oleh pihak TALG yang berarti bahwa pihak-pihaknya ada, kasusnya benar, dan pengadilan di AS telah memutus demikian. “Berarti murni perdata, kenapa dibawa ke pidana, ada apa sih di Kejaksaan Agung? Dimana adanya kerugian negara? Kejaksaan itu tidak mengerti, padahal kita mau kasih data, tapi penyidik menolak. Padahal putusan pengadilan itu akta otentik dan akta otentik itu adalah alat bukti menurut KUHP. Penyidik tidak boleh mengesampingkan fakta otentik berupa putusan pengadilan ini,” tutur Lawrens.
Lebih lanjut, Lawrens mengaku heran atas sikap Kejaksaan yang menyebut ada indikasi korupsi dan kerugian negara dalam kasus penyewaan pesawat ini. Dia memaparkan, hasil pemeriksaan BPK tahun 2007, yang menyatakan bahwa dalam penyewaan ini memang berpotensi terjadi kerugian negara, namun BPK menyarankan agar diupayakan secara maksimal pengembalian uang sewa tersebut. “Itu ada di audit BPK-nya tahun 2007. Jadi katanya itu berpotensi, bukannya sudah terjadi kerugian negara. Dan yang berhak menghitung kerugian negara ada dua, BPK dan BPKP. Darimana itu Kejaksaan bilang ada kerugian US$ 1 juta,” ujarnya.
“Kepolisian Mabes Polri juga sudah memeriksa perkara ini dan menyatakan tidak cukup bukti. Begitu juga dengan KPK menyatakan bahwa perkara ini tidak ditingkatkan ke penyidikan karena ranah perdata. Tapi kenapa Kejaksaan tetap menyatakan ini perbuatan korupsi. Kalau menurut saya, ini sebuah rekayasa yang luar biasa,” tandas Lawrens.
Sebelumnya, Kejagung menetapkan dua tersangka kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat Boeing 737 PT Merpati Nusantara Airlines (MNA). Mereka adalah mantan Direktur Utama dan Direktur Keuangan MNA yang masing-masing berinisial HN dan GA. Penetapan tersangka dilakukan Jampidus pada 16 Agustus 2011.
Kasus ini terjadi pada 2006 ketika Direksi PT MNA memutuskan menyewa dua pesawat Boeing 737 dari perusahaan TALG di AS, senilai US$ 500 ribu untuk setiap pesawat. Uang sewa sebesar US$ 1 juta telah ditranfer ke rekening Hume & Associates, lawyer yang ditunjuk TALG, melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut, tak kunjung diterima PT MNA. Diduga ada penyimpangan dalam proses penyewaannya. Kejagung melakukan penyelidikan dan memeriksa sejumlah mantan anggota Direksi PT MNA. Mereka adalah Hotasi Nababan (Dirut MNA 2002-2007), Cucuk Suryo Suprojo (pelaksana tugas Dirut MNA 2008) dan Sardjono Jhoni Tjitrokusumo (Presdir MNA 2010). |dtc|