Pemerintah Tunisia sedang mengalami masa-masa transisi setelah aksi revolusi rakyat melengserkan kepemimpinan presiden Zine Al Abidine Ben Ali pada 17 Desember 2010 lalu, dampak dari peralihan kekuatan politik Tunisia membawa berbagai kelompok yang ingin membawa perubahan bagi Tunisia baik kalangan aktivitis terutama kelompok Islam reformis.
“Menteri Dalam Negeri Tunisia membekukan semua kegiatan partai yang dahulu berkuasa untuk mencegah pelanggaran keamanan,”kata satu sumber Kementerian Dalam Negeri Tunisia.
Pengumuman itu disampaikan setelah serangkaian kekerasan, yang menurut para pejabat keamanan merupakan bagian dari persekongkolan oleh aparat yang dekat dengan presiden terguling, Zine al-Abidine Ben Ali, untuk menyebarkan kekacauan dan merebut lagi kekuasaan. Dalam insiden terakhir dari bentrokan selama beberapa hari, seorang pria tewas selama protes di kota Kebili, Tunisia selatan. Lalu yang menimbulkan pertanyaan, apakah Tunisia bisa kembali stabil setelah pelengseran Ben Ali?
“Menteri Dalam Negeri telah memutuskan membekukan semua kegiatan dan pertemuan RCD (partai yang dahulu berkuasa) serta menutup semua kantornya sambil menunggu keputusan pengadilan mengenai pembubarannya,” kata sumber kementerian itu. “(Ini dilakukan) karena hal itu mendesak dan untuk mencegah pelanggaran keamanan umum serta melindungi kepentingan negara yang lebih tinggi,” tutur sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya itu.
Sumber itu juga mengatakan, bentrokan meletus di Kebili antara polisi dan pemrotes yang marah atas pengangkatan seorang gubernur baru. Korban tewas setelah terkena granat air mata, kata sumber itu. Tunisia dilanda kerusuhan beberapa pekan setelah meletusnya pemberontakan yang berusaha menggulingkan Presiden Ben Ali pada Januari.
Semasa presiden Ben Ali berkuasa, banyak kelompok-kelompok oposisi di tangkap dan di tahan dengan menangkap para pemimpinnya agar mereka tidak menggangu jalannya pemerintahan yang berkuasa.
Pada tahun 1989, Rezim Ben Ali pernah bentrok dengan pemimpin partai oposisi, Al-Nahda saat pemilihan aggota parlemen, di mana para calon dari partai al-Nadha sebaga partai independen memperoleh sekitar 20% dari suara, meskipun hasil aktual masih dalam sengketa.
Setelah al-Nahda muncul sebagai saingan utama partai RCD, pimpinan Ben Ali, permusuhan antara dua institusi meningkat pada tahun 1991 ketika partai yang berkuasa menolak tuntutan partai Islam untuk pengakuan resmi oleh pemerintah. Pada bulan Agustus 1992, sekitar 30.000 anggota al-Nahda dihadapkan ke pengadilan militer dengan menghukum 256 pemimpin Islam hingga menjebloskannya ke penjara, beberapa dari mereka saat ini masih hidup.
Beberapa tokoh militer dan anggota mantan penguasa partai RCD juga meningkatkan kemampuan argumen yang sama dengan mempromosikan bahwa perubahan kelompok reformis Islam adalah sebuah “ancaman” dalam upaya untuk mempertahankan kepentingan mereka sendiri dan keinginan untuk mempertahankan dominasi atas negara itu.
Pada intinya, mereka memberikan salah satu propaganda kepada publik Tunisia dengan dua pilihan: pemerintah sementara, termasuk mantan anggota partai RCD, atau kekacauan yang mungkin berlaku dengan kebangkitan Islam. Mereka bahkan membandingkan kembalinya Rachid Ghannouchi akan sama saja seperti kepemimpinan Iran Ayatollah Ruhollah Khomeini, perbandingan yang tidak mendasar.
Perjuangan panjang rezim Ben Ali telah gagal melemah Gerakan Nahda dan memaksa para pemimpinnya untuk bermigrasi, tetap bergabung dengan partai lain dan kekuatan politik lainnya. Selain itu, kelompok partai Islam baru muncul selama dekade terakhir, yaitu arus Salafis.
Ghannouchi mengakui kelemahan gerakan dan kehancuran total struktur di dalam Tunisia. Dalam hal itu, ia telah menetapkan rencana lima tahun untuk merestrukturisasi gerakan dan kembali ke basis politiknya.
Dia juga berpendapat bahwa partai politik lainnya yang pernah dilarang oleh Ben Ali memerlukan rentang waktu yang sama untuk mendapatkan kembali kemampuan mereka untuk berfungsi: “Semua pihak telah dilemahkan oleh penindasan dan kita perlu lima hingga enam tahun untuk dapat menyelenggarakan pemilu yang demokratis” (alittihad .. press.ma, 20 Januari).
Partai Al-Nahda menekankan visi dan perspektif gerakan Islam demokratis dan liberal. Ghannouchi adalah kekuatan di balik perspektif itu dan ia menerima sekularisme dan mengakui hak-hak sipil perempuan. Ia juga mengungkapkan kekagumannya partai Islamis Turki sebagai model pemerintah. Dia lebih jauh menyoroti bahwa lebih dari 400 anggota al-Nahda telah diterima sebagai pengungsi di negara-negara Barat. Demikian dilansir situs JamesTown dan dikutip SWATT Online.
Ghannouchi kembali ke Tunisia, tapi namanya tidak dikenal rakyat Tunisia, terutama di antara kaum muda, yang tidak mendapatkan kesempatan untuk mendengarkan ide-ide di bawah rezim lama.
Ben Ali meninggalkan negaranya pada pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi. Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan. Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka|heru lianto|ade mahendra|