
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) menjamin tidak ada perbedaan soal fasilitas di tahanan untuk Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Namun, karena statusnya masih tersangka dan ada jabatan Gubernur Banten, ada standar operasional produser yang digunakan seperti menyediakan waktu bertemu untuk pemberian instruksi roda pemerintahan Banten.
Kepala Biro Humas dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Hukum dan HAM, Maroloan Jonis Barimbing, menyebut setiap rumah tahanan memiliki SOP menyesuaikan kebutuhan. Meski Atut masih berwewenang memberi instruksi roda pemerintahan Banten, Maroloan menekankan tidak ada penyediaan fasilitas yang berlebihan.
Kalau pun ada fasilitas laptop dari pembesuk, itu pun hanya bersifat sementara selama pertemuan dan diawasi pihak rumah tahanan. “Mungkin kalau ketemu sama orang dari Pemprov Banten buat minta tanda tangan misalnya ya dia diatur. Ada protap, SOP-nya soal fasilitas kerja,” kata Maroloan kepada detikcom, Jumat (14/02).
Dia menjelaskan status Atut adalah tahanan titipan Komisi Pemberantasan Korupsi. Selama proses penyidikan hingga persidangan adalah wewenang KPK dalam penetapan status Atut.
Rutan Pondok Bambu hanya sebagai tempat dan pengawas selama Gubernur Banten itu di penjara. Yang menentukan prosedur pengaturan pertemuan dan pembesukan adalah pihak rutan. Kemenkum HAM sebagai pengawas kalau rutan bertindak di luar jalur.
Dia pun menegaskan sejauh ini rutan tidak membedakan Atut dengan tahanan lain. “Enggak ada itu fasilitas enak kayak VIP, ruang eksekutif. Kalau di hotel silakan seperti itu. SOP itu kan untuk semua. Enggak ada itu istilah ada kelonggaran khusus,” ujarnya.
Adapun Juru bicara KPK Johan Budi mengatakan Atut tidak akan diberikan kelonggaran karena pihaknya juga akan melakukan pengawasan. Soal keperluan tanda tangan surat ataupun fasilitas kerja seperti laptop, hal itu ada aturan yang perlu diikuti Atut.
Lagipula, penempatan di Rutan Pondok Bambu adalah keputusan penyidik setelah berkoordinasi dengan pimpinan KPK. “Semua sudah dikoordinasikan dan diawasi. Tidak ada kelonggaran selama proses hukum,” kata Johan.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) Margarito Kamis berpendapat kalau pemerintah ingin merevisi atau sekadar membuat Perpu tentang kepala daerah yang berstatus tersangka langsung diberhentikan tidak ada ruginya. Malah langkah ini akan mendapat dukungan karena bertujuan memberantas korupsi yang sekarang sedang lagi gencarnya.
Namun, persoalannya adalah di pihak pemerintah dan DPR yang terkesan tidak sejalan. “Kalau hambatan saya rasa enggak ada karena sekarang atmosfer pemberantasan korupsi lagi kuat. Ya, ini kan tergantung lagi keberanian pemerintah terutama presiden,” kata Margarito saat dihubungi detikcom, Sabtu (15/02). [dtc]