Pulau Gara masuk Kelurahan Kasu, Kecamatan Belakangpadang, Batam. Namun, kebanyakan warga Batam hanya tahu Pulau Kasu yang menjadi ibu kota Kelurahan Kasu.
Padahal, wilayah Pulau Gara cukup luas. Penduduk setempat bilang, butuh sedikitnya dua jam untuk mengelilingi pulau tersebut dengan naik kapal pancung bermotor tempel.
“Meski wilayahnya cukup luas, penduduknya sangat sedikit. Di sini hanya ada 57 kepala keluarga atau 260 jiwa,” ujar Jamaludin, ketua RT 22, RW 06, di Pulau Gara.
Menurut dia, seluruh penduduk Pulau Gara adalah Suku Laut. Namun, sejak 1991 mereka tidak lagi tinggal di sampan. “Pak Supandi (mantan ketua Otoritas Batam, Red) yang memindah kan kami,” kisah Jamaludin.
Kini, warga Pulau Gara tinggal di deretan rumah panggung yang tidak jauh dari laut. Rumah itu merupakan bantuan pemerintah. Dari kejauhan, deretan rumah itu mirip sekali dengan perumahan sangat sederhana. Bedanya, rumah itu berbentuk panggung dengan air di bawahnya.
Di rumah mungil itulah warga melakukan segala aktivitas. Untuk penerangan, mereka menggunakan genset kecil seperti yang biasa dipakai warung-warung pinggir jalan. Untuk memenuhi kebutuhan air tawar, mereka menampung air hujan. Ada juga yang menggali sumur tak jauh dari rumah mereka.
Tidak ada septic tank di rumah tersebut. Bila warga buang air besar, kotoran langsung jatuh ke air dan terbawa arus. Meski begitu, lingkungan rumah mereka tampak bersih. Paling tidak, tak tampak sampah tercecer di sana.
Sayang, itu tidak berarti warga di sana telah sadar kebersihan. Seperti saat BAB, warga membuang sampah ke pantai di bawah rumah mereka. Sampah itu lalu terbawa arus entah ke mana.
Bagi Jamaludin, yang telah 18 tahun menjadi ketua RT di sana, kehidupan di Pulau Gara belum menjanjikan secara ekonomi. Tangkapan ikan, yang merupakan pekerjaan pokok warga, tidak cukup banyak. “Saat belum banyak pabrik di Tanjunguncang, tangkapan ikan lumayan. Sekarang sudah jauh menurun,” katanya.
Dengan bekerja seharian penuh pun, lanjut dia, nelayan Pulau Gara sulit bisa menghasilkan Rp 100 ribu. “Kami tidak bisa keluar terlalu jauh dari Pulau Gara karena tidak punya sarana transportasi yang memadai,” kata Jamaludin. Dengan kondisi begitu, menurut dia, seluruh keluarga di Pulau Gara termasuk fakir miskin.
Meski ekonomi mereka pas-pasan, Jamaludin bermimpi, generasi penerus warga Pulau Gara lebih beruntung di kemudian hari. Paling tidak, warga telah sadar untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Sayang, semangat saja sepertinya tidak cukup. Banyak anak Gara yang gagal sekadar lulus SD. Banyak kendala yang mereka hadapi. “Salah satunya, transportasi,” katanya.
Dijelaskan, SD paling dekat dari Pulau Gara berada di Pulau Bertam. Untuk mencapai sekolah itu, anak-anak harus mendayung sampan sekitar 30 menit. Orang tua mereka tidak bisa mengantar karena punya kesibukan lain di laut. “Kalau hujan, ya mereka tidak bisa sekolah,” tutur Jamaludin.
Itu sebabnya, Jamaludin ingin sekali ada SD di Pulau Gara, setidaknya untuk siswa kelas I sampai kelas III. “Anak kelas I sampai kelas III kan masih terlalu kecil untuk mendayung sejauh itu,” ulas Jamaludin, yang anaknya juga tak lulus SD.
Anak yang berhasil lulus SD harus menuju Pulau Kasu atau Belakangpadang untuk bisa masuk SMP. Untuk masuk SMA, mereka bahkan hanya punya satu pilihan, Belakangpadang. Padahal, untuk menuju Pulau Kasu saja, siswa harus mendayung sampan lebih dari sejam. “Terbayang kan jika di tengah jalan tiba-tiba turun hujan,” keluhnya.
Ustad Syamsudin menangkap keresahan warga itu. Sebagai pendidik agama, ayah dua anak asal Jakarta itu ingin anak-anak Pulau Gara mendapatkan pendidikan yang memadai. “Saya ingin sekali bikin homeschooling di sini. Tapi, saya tidak tahu bagaimana memulainya,” tutur dia.
Bisa dibilang, Syamsudin lah satu-satunya orang yang berpendidikan di sana. Toh, dia tidak berdaya karena sendirian. Maklum, sekadar teman bertukar pikiran pun dia sulit menemukan.
Sejauh ini, Syamsudin baru bisa mengajarkan ilmu agama, belum ilmu lain. Padahal, tanah Pulau Gara cukup subur. Mangga, pisang, rambutan, durian, dan beberapa tumbuhan lain tumbuh subur di sana.
Namun, semua tumbuh liar. Belum ada sentuhan tangan manusia. Sebab, warga Pulau Gara tidak punya pengetahuan bercocok tanam.
Sumber: jawapos.com