Komisi Hukum Nasional (KHN) menilai, RUU Intelijen berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM), bila badan intelijen diberikan kewenangan melakukan penyadapan tanpa izin pengadilan.
KHN, dalam siaran pers di Jakarta, Senin (4/4), Ketua KHN JE Sahetapy, mengatakan, untuk menghindari adanya penyalahgunaan wewenang dan demi terwujudnya transparansi dan akuntabilitas dalam demokrasi, maka sudah sepatutnya penyadapan dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pengadilan.
“Siapa dan bagaimana kontrolnya atas kewenangan penyadapan? Apakah pengawasan dilakukan secara reguler oleh DPR dengan melakukan rapat bersama, bisa menjamin terjadinya transparansi dan akuntabilitas? Apakah ada jaminan juga setiap penyadapan dilakukan oleh Badan Intelijen akan dibuka saat rapat dengan DPR?,” katanya mempertanyakan.
Sahetapy mengatakan, dalam rentang waktu 12 tahun terakhir, KHN mencatat bahwa politik legislasi DPR belum sepenuhnya mengakomodasi kepentingan publik, sehingga mengakibatkan reformasi hukum pun berjalan tidak maksimal.
“Ide reformasi cenderung bersifat tactical reform. Dampaknya, keluarnya subtansi RUU yang tumpang tindih, terjadinya amandemen terhadap UU yang baru disahkan dan kecenderungan pembentukan lembaga baru akibat penilaian atas tidak efektifnya lembaga yang ada,” tuturnya.
Menurut dia, proses penyusunan RUU yang tidak aspiratif dan tidak akuntabel menjadi salah satu faktir banyaknya produk DPR yang dipersoalkan kemudian hari, salah satu ukurannya cukup banyak UU yang diajukan “judicial review” ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Oleh karena itu, KHN mengusulkan kepada DPR agar lebih terbuka dan partisipatif dalam pembahasan RUU intelijen negara. KHN pun memandang UU intelijen diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan negara, tetapi harus tetap dalam bingkai negara hukum yang demokratis.
Sebelumnya, anggota Komisi I DPR RI Nurhayati Ali Assegaf mengemukakan, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Intelijen diperkirakan akan tuntas pada Juni atau Juli 2011.
Saat ini, masyarakat menyoroti secara kritis beberapa hal, antara lain, penyadapan, penangkapan atau penahanan atau penangkalan dini serta pengawasan terhadap intelijen
“RUU Intelijen adalah inisiatif dari DPR dimana diinginkan masyarakat agar tercipta wadah intelijen yang mampu menjaga pertahanan dan keamanan negara,” katanya.
DPR berharap adanya masukan masyarakat termasuk mengenai wewenang menangkap dan memeriksa 7×24 jam seperti diusulkan pemerintah.
“DPR tentu perlu menanyakan alasan teknisnya kenapa harus ada ini, agar masyarakat bisa pahami ini karena kita ingin ada UU sehingga intelijen bisa bekerja maksimal di bawah payung hukum,” katanya.
Dia mengatakan, masyarakat juga harus tahu bahwa proses RUU ini sejak tahun 2006 dan DPR berharap jangan berlarut-larut. Karena itu, diharapkan selesai Juni atau Juli 2011 karena tidak hanya menghadapi pemilu, tetapi juga kejahatan transnasional, “human trafficking” dan sebagainya.
“Kalau RUU ini tidak selesai, masalah kita itu tidak akan selesai dan itu akan mengganggu stabilitas keamanan serta pertahanan negara. Ini yang kita harapkan RUU ini berjalan dengan baik dan diterima oleh masyarakat. RUU ini `kan dibuat dari, untuk dan oleh masyarakat,” katanya.
Menurut anggota Fraksi Partai Demokrat dari daerah pemilihan Malang Raya (Jawa Timur) ini, RUU Intelijen juga tidak akan melawan HAM tapi akan memikirkan HAM dan DPR tidak mungkin lepas dari perhatan terhadap HAM. Komisi I juga tidak mau RUU ini dimentahkan oleh MK.
“Maka kami sangat hati-hati dan kajiannya sudah lama sekali,” katanya.
Dia mengatakan, pembahasan RUU ini sangat terbuka dan draftnya bisa diakses masyarakat. Masukan masyarakat sangat dipertimbangkan dan DPR terus melakukan sosialisasi serta memberikan penjelasan kepada masyarakat.
“Masyarakat juga harus aktif serta bekerjasama dengan DPR dan tidak harus menunggu kita mengumumkan. Saya tidak meragukan kalau RUU ini akan diterima masyarakat karena kita membahasnya sudah lama dan terbuka. Pertimbangannya adalah untuk semua,” |Gatra.Com|