Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa kasus suap menyuap menempati urutan kedua terkait perilaku buruk pelaku bisnis. Sementara masalah ‘kongkalikong’ pengadaan barang dan jasa menempati urutan pertama. Demikian disampaikan M. Yasin selaku Wakil Ketua KPK dalam acara Komunitas Pengusaha Antisuap (Kupas) di Kantor Chevron Pacific Indonesia, Jakarta, Kamis (21/7/2011).
“Jadi kasus suap menyuap ini memang jadi nomor dua setelah kasus pengadaan barang dan jasa. Ranah bisnis di sini sering menjadi target korupsi,” katanya. Yasin melanjutkan, dengan adanya usaha suap menyuap tersebut, ia mendukung penuh dengan diadakannya penandatangannya kesepakatan anti suap yang hari ini dilaksanakan Chevron bersama beberapa perusahaan seperti Siemens, Osram, Dupont, BP Berau, dan Ericsson Indonesia.
“Kita di Indonesia membutuhkan UU yang mengatur antara private to private untuk mengatasi adanya praktek suap di swasta. Kita harus mengarah ke situ. Jika tidak ada UU tersebut maka kita tidak akan bisa bergerak ke situ,” akunya. Dilanjutkan olehnya, sektor swasta harus perlu diawasi oleh KPK. Pasalnya, jika terjadi kasus yang tidak bisa dimasuki KPK, nantinya hal tersebut dapat mengganggu iklim kompetisi bisnis yang adil.
“Kita harus mengacu ke situ, antara swasta dan pemerintah harus seperti itu. Tidak boleh ada saling suap, ini supaya kompetensi bisnis sehat. Bisa fair dalam bersaing,” ujar M. Yasin. Menurut Yasin Indonesia harus meniru beberapa negara seperti India, Rusia, Korea, atau Jepang yang mengadopsi UU anti suap menyuap yang melibatkan sektor asing.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Direktur Chevron Pacific Indonesia (CPI) Abdul Hamid Batubara menyampaikan, pihaknya berusaha untuk mengatasi adanya praktik-praktik tersebut. “Ini butuh proses, kita coba lakukan untuk taat pada peraturan yang berlaku. Ini membuat kita selamat, walaupun waktunya lebih panjang dan lama kita lebih baik seperti itu. Berusaha untuk menghindari adanya conflict of interest, termasuk menjauhi praktik suap menyuap,” katanya. |dtc|