
Jakarta – Mewaspadai kanker prostat memang penting dilakukan, namun tidak harus berlebihan. Menurut penelitian, laki-laki sehat yang dipaksa melakukan pemeriksaan kanker prostat kebanyakan malah mendapat tindakan yang sebetulnya tidak diperlukan.
Imbauan itu disampaikan dalam rekomendasi US Preventive Services Task Force, yang menggelar sidang panel baru-baru ini. Rekomendasi yang sebenarnya baru akan diumumkan Selasa depan ini menekankan, tes Prostate-Spesific Agent (PSA) tidak wajib dilakukan oleh laki-laki sehat.
Para panelis menilai, tes PSA hanya mendasarkan kemungkinan seseorang menderita kanker prostat berdasarkan adanya protein tertentu dalam darah. Padahal masih ada banyak faktor lain, sehingga kadang-kadang para lelaki harus mendapatkan tindakan yang sebenarnya tidak perlu.
“Mayoritas diagnosis kanker prostat sebenarnya tidak butuh tindakan. Laki-laki di AS yang didiagnosis dari hasil tes PSA hampir 90 persen pasti dapat tindakan dengan risiko yang tidak ringan,” ungkap salah satu panelis, Mike LeFevre seperti dikutip dari MSNBC, Senin (10/10/2011).
Tindakan yang dimaksud antara lain pengobatan dengan kemoterapi, radiasi maupun pembedahan. Setiap tindakan biasanya memiliki efek samping yang kurang lebih sama yakni stres memikirkan biaya, beser karena kerusakan otot panggul dan yang paling ditakutkan adalah impotensi.
Data yang diungkap dalam panel tersebut antara lain, 10-70 dari setiap 1.000 laki-laki yang mendapat perawatan kanker prostat akan mengalami komplikasi. Itu belum termasuk 200-300 dari 1.000 pasien yang mengalami efek samping berupa impotensi.
Namun karena tidak menjelaskan metode apa yang lebih efektif dibanding tes PSA, imbauan ini banyak diprotes para aktivis peduli kanker. Para aktivis berdalih, bagaimanapun ribuan kematian akibat kanker prostat bisa dicegah berkat berbagai upaya deteksi dini.
“Kanker prostat stadium awal kadang tidak menunjukkan gejala, jadi tidak ada cara lain untuk mendeteksinya (selain dengan tes PSA). Kebanyakan ketika gejalanya sudah muncul, kankernya sudah stadium lanjut dan sulit disembuhkan,” ungkap Theresa Morrow, aktivis dan pendiri Women Against Prostate Cancer. |dtc|