Maskapai penerbangan Lion Air menggugat balik penumpang yang sedang menggugat maskapai tersebut di pengadilan. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), tindakan Lion Air itu tidak perlu dilakukan. Justru, upaya mengggugat balik dinilai cerminan kepanikan dan ketakutan manajemen Lion Air dalam mengelola perusahaan.
“Seharusnya cukup dijawab saja, tidak perlu menggugat balik. Ini bentuk ketakutan manajemen, panik,” kata pengurus harian YLKI, Tulus Abadi, saat dihubungi wartawan, Selasa (12/9/2011). “Rekopensi atau gugatan balik ini umum dilakukan. Tapi dilakukan kalau pihak tergugat merasa terancam seperti pencemaran nama baik,” tukas Tulus.
Menurut Tulus, gugatan balik tersebut juga dapat mendorong preseden buruk bagi konsumen untuk menuntut haknya. Namun, Tulus meminta konsumen lain tidak terpengaruh. “Ini menjadi preseden buruk. Bagaimana pun ini upaya konsumen mendapat haknya. Konsumen tidak perlu takut, ini fenomena yang biasa. Kalau bukan fitnah, tidak perlu takut,” tandas Tulus.
Sebelumnya, calon penumpang Lion Air bernama De Neve Mizan Allan menggugat Lion Air karena mengembalikan tiket (refund) secara sepihak, sehari setelah pembelian lewat ATM. Lantas, Mizan Allan berburu ‘tiket go show’ atau tiket yang dibeli di bandara dan Mizan Allan dapat langsung terbang saat itu juga.
Namun, pihak Lion Air berkelit. Menurutnya, justru Mizan Allan yang terlambat sampai-sampai pesawat tertunda hingga 20 menit dari jadwal semula. “Tidak benar semua gugatan tersebut,” terang kuasa hukum Lion Air, Nusirwan usai sidang di PN Jakarta Pusat.
Karena gugatan tersebut dinilai bohong, maka Lion Air menggugat balik dalam perkara tersebut (rekopensi). Lion Air merasa pihaknya malah dirugikan karena penerbangan terlambat guna menunggu Mzan Allan sehingga mengganggu jadwal penerbangan.
Alhasil, Lion Air harus membeli avtur tambahan serta menambah biaya operasional. “Kami kan juga menambah gaji pilot. Mereka kan dibayar per jam. Nominal jumlah kerugiannya saya lupa,” tukas Nusirwan. |dtc|