SELAMA 10 tahun sejak 1999 sampai 2009, sekitar 4.140 hektar lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan kering. Kondisi ini diperparah oleh oknum maklar tanah berkedok investor mengiming-imingi pemilik lahan dengan harga mahal. Begitu lahan dilepas, lahan pertanian dibiarkan terbengkalai menjadi lahan tidur. Maklar berkedok investor ini disinyalir menjadi pemicu lahan mangkrak di Bali. Sebab, tanah yang dibeli bukan diperuntukkan sebagai lahan bangunan, namun sebagai investasi jangka panjang dengan harapan harganya lebih mahal.
Cara ini dikatakan Rektor Undiknas Denpasar Prof. Dr. Gede Sri Darma, S.T., M.M., cenderung merugikan karena tidak memberikan kontribusi terhadap roda perekonomian masyarakat. ”Model investasi seperti itu harusnya dilarang, karena tidak memberikan kotribusi apa-apa terhadap masyarakat sekitarnya, dan justru merusak pandangan akibat terbengkalai,” ujar Sri Darma di Denpasar, Kamis (10/3) kemarin.
Kendati sama-sama memanfaatkan lahan yang tersedia, namun antara maklar yang berkedok investor dengan investor yang benar-benar ingin menanamkan modalnya di Bali, kata Sri Darma, memiliki misi yang berbeda. Maklar yang berkedok investor membeli lahan untuk dijual kembali, sementara investor membeli lahan bertujuan untuk pembangunan akomodasi maupun industri. ”Kehadiran investor akan menimbulkan multiplier effect di antaranya peningkatan kesempatan kerja, menambah kemampuan belanja masyarakat dan meningkatkan permintaan di pasar dalam negeri,” tandasnya.
Menurutnya, kehadiran investor akan membawa dampak positif terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Bali. Hanya pemerintah perlu memilah-milah investasi yang sesuai dengan kultur Bali serta tidak membawa dampak negatif terhadap lingkungan. ”Bali mutlak membutuhkan investasi dalam meningkatkan perekonomian secara makro. Hanya pemerintah perlu memilah-milah dampak positif dan negatif setiap investasi yang masuk,” ucapnya.
Secara teori, investasi sangat penting sebagai motor utama perkembangan dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Sebab, tanpa investasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang tidak bisa tercapai.
Banyak lahan yang terbengkalai, diakui Sri Darma, juga dipicu oleh konversi lahan yang dilakukan petani. Mereka menjual lahan produktif akibat sektor pertanian dirasakan kurang menguntungkan. ”Sektor pertanian di Bali masih dirasakan tersisih dibanding sektor pariwisata. Perhatian pemeritah yang masih dirasakan minim terhadap sektor tersebut membuat petani beralih profesi dan menjual lahan mereka,” sebutnya.
Kondisi itu diperkuat dengan banyaknya alih fungsi lahan pertanian. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali mencatat periode 1999 luas lahan pertanian di Bali mencapai 86.071 hektar. Angka tersebut mengalami penyusutan hingga 4.140 hektar atau tersisa 81.931 hektar di periode 2009. Sebagaian besar lahan pertanian produktif yang terkonversi beralih fungsi menjadi lahan kering seperti tambak, perkebunan serta lahan nonpertanian, seperti diperuntukkan sebagai akomodasi pariwisata, permukiman dan industri.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Warmadewa (Unwar) Drs. I Wayan Arjana, M.M. menyatakan sinergi antara sektor pertanian dan pariwisata akan menekan terjadinya konversi. Seperti pengembangan wisata agro dengan memanfaatan kawasan atau aktivitas budi daya pertanian untuk objek wisata. Selain adanya komitmen pelaku pariwisata untuk menampung hasil-hasil pertanian lokal, sehingga petani tidak kesulitan dalam pemasaran.
Sektor pertanian dan pariwisata perlu melakukan kemitraan dengan pola yang jelas, baik kemitraan dalam permodalan atau pemasaran produk petani. Dengan upaya ini petani diharapkan menjadi lebih mandiri dan mampu mengikuti perkembangan situasi perekonomian.
Sumber: balipost.co.id